Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasus Tengkorak Menggantung (Detektif Kilesa)

15 Juni 2022   09:27 Diperbarui: 15 Juni 2022   09:30 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KASUS TENGKORAK MENGGANTUNG

Pk. 08.35.

"Lebih baik kau cepat pergi dari tempat ini, Kilesa."

Aku hanya setengah tersenyum, lalu meneguk kopi di cangkirku. "Dan, apa alasannya, Usep?"

"Kau terkenal dengan reputasimu di mana kasus aneh dan unik selalu mengikuti, dan aku tidak suka kau membawanya ke divisiku, divisi pelaporan publik."

Aku melenguh, "Aku hanya ingin minum kopi di pagi ini, kawan. Dan, tenang saja, kawan, aku sendiri tidak suka. Percayalah, aku tidak suka berhadapan dengan kasus - kasus seperti itu. Kasus kita yang terakhir kemarin itu..."

Usep memotong, "No no, Kilesa, lebih baik kita tidak usah membahasnya lagi. Kepalaku bisa pening mendengar penjelasanmu."

Aku mengangguk, "As you wish."

Aku meneguk sisa kopi terakhir dan meletakan cangkir di atas meja, lalu beralih menuju pintu keluar. Tepat ketika akan meraih gagang, seorang wanita berusia tiga puluhan merangsek masuk dengan tergesa - gesa. Ia menatapku sembari membetulkan penampilannya.

"Apakah ini divisi laporan publik?" tanyanya, yang kujawab dengan lambaian tangan menuju Usep.

Wanita itu duduk di hadapan Usep, mengatur napas dan memperkenalkan diri. Aku yang tertarik dengan keanggunannya tidak jadi mengundurkan diri. Ya, bisa kukatakan wanita ini berpenampilan menarik.

"Selamat pagi, pak polisi, namaku adalah Yanti Deswitasari, seorang guru biologi SMA CK di kota ini."

Usep menyambut dengan senyum, "Baik, Bu Yanti, apa yang bisa kami bantu?"

"Cerita ini akan sedikit panjang, pak polisi, tapi kuharap pak polisi dapat mengikuti. Jadi, anak didikku mengikuti sebuah kejuaraan di bidang biologi. Semacam olimpiade internasional, namun setingkat di bawahnya. Timku berhasil memenangi kejuaraan ini. Selain mendapatkan medali dan uang, kami juga mendapatkan beberapa hadiah di bidang biologi."

"Salah satunya adalah uji tes DNA gratis. Anak - anak didikku tidak menyukainya, jadi mereka menyerahkannya padaku. Aku berada di dalam lab biologi ketika mereka mengatakannya padaku, dan merasa bahwa aku pun tidak butuh. Jadi aku asal - asalan saja. Aku memandangi rangka manusia yang terpajang di ruang itu, dan merasa ide bagus untuk menguji DNAnya."

Ide bagus? Aku tertawa dalam hati. Lebih ke konyol, bu.

"Kupikir, apa hal buruk yang akan terjadi? Yang aku tahu rangka itu memang bukan plastik, jadi aku tidak membodohi penguji lab. Dan dua minggu yang lalu aku iseng - iseng mengirim sampel tengkorak itu ke rumah sakit, dan pagi ini hasil itu muncul. Lihat ini, pak."

Yanti menyerahkan hasil tes DNA kepada Usep, dan ia mencermatinya. Usep menatap Yanti kembali.

"Apa maksud dari tes ini, bu? Ada sebuah nama beserta karakteristik seseorang."

"Omar Suseno. Bapak tidak tahu nama itu?"

Omar Suseno? Nama itu terdengar familiar. Tunggu sebentar...

Aku mendekati Yanti, "Omar Suseno adalah guru biologi yang menghilang sepuluh tahun lalu di SMA CK. Pencarian tidak menghasilkan apa - apa. Kepolisian menutup kasus pencarian karena sudah kadaluarsa. Omar Suseno pun sudah dianggap meninggal oleh keluarga."

Yanti menatapku dan mengangguk, "Aku pun baru mengetahuinya tadi pagi lewat mesin pencarian internet. Terakhir orang - orang melihatnya di lingkungan sekolah, kemudian lenyap tanpa keterangan apa pun. Tidak kusangka ternyata selama ini aku berada di sebelah..."

Yanti mulai menunduk dan terlihat sedih, "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Aku berpandang -- pandangan dengan Usep. Lagi - lagi ini bukan kasus biasa. Biasanya Usep akan menyindirku. Namun hal itu ditahannya karena kasus ini terlalu serius.

***

Diskusiku dengan Usep menyatakan bahwa hal pertama yang kami lakukan adalah mengunjungi rangka itu dan mengamankannya ke kantor polisi. Agar tidak menimbulkan keributan, kami bersepakat untuk membawa tim sesedikit mungkin. Mahmud harus ikut sebagai kepala tim forensik. Kami pun berangkat menuju sekolah CK dan menuju ruang biologi.

Kami pun memasuki ruang itu. Ruang itu cukup terbuka, dengan jendela besar di sisi - sisi ruangan, dengan pemandangan mengarah ke lapangan sekolah. Ada banyak meja porselen, dengan berbagai peralatan laboratorium di atasnya, seperti mikroskop, cawan, botol pipet.

Tengkorak terkutuk itu ada di samping meja guru. Tergantung di sebuah tiang tipis, rangka itu berwarna putih kekuningan dan melayang dari lantai. Rahangnya yang menganga seperti menertawai kami yang ingin mengetahui kebenaran. Tidak adanya debu dan retak membuktikan bahwa rangka itu sering dibersihkan tanpa prasangka apa pun.

Tidak ada yang aneh dari tempat itu. Setidaknya itulah konklusi yang kuhasilkan bersama Usep dan Mahmud. Tujuan kami adalah menemukan kejanggalan, sesuatu yang berada di luar nalar, dan tidak cocok dengan logika. Semuanya terlihat normal, kecuali tes DNA yang dibawa oleh Yanti, sang sumber permasalahan. Aku berkali - kali bercakap - cakap dengan Yanti, memastikan bahwa tes itu benar adanya. Bahkan seorang anak buah Mahmud kupinta untuk menghubungi rumah sakit penguji tes.

Seperti biasa, aku mengeluh. "Tidak ada yang aneh dari rangka ini, kawan - kawan, tidak ada yang aneh dari tempat ini."

"Aku setuju, Kilesa. Sepertinya sumber masalah bukan berasal di ruangan ini, melainkan kasus sepuluh tahun yang lalu." sahut Mahmud.

"Aku akan mengeluh luar biasa, Mahmud. Mengulik kasus sepuluh tahun yang lalu bukan pekerjaan mudah, apalagi jika kasus sudah dinyatakan kadaluarsa oleh kepolisian. Berkas - berkas akan hilang berceceran. Kau tentu tahu itu, bukan, Usep?"

Usep mengangguk, "Benar, Kilesa. Tapi kita perlu memecahkan kasus ini. Seingatmu saja dulu. Aku dan Mahmud sepuluh tahun yang lalu belum berada di kota ini. Apa yang terjadi di SMA ini?"

Aku memutar otakku dan mengingat kasus ajaib sepuluh tahun yang lalu. Tentu sudah banyak yang hilang.

"Tidak banyak yang bisa kutambahkan selain yang kau dengar tadi di ruang pelaporan, Usep. Sepuluh tahun yang lalu, seorang guru biologi menghilang secara mendadak di SMA ini. Saksi mata terakhir melihat di sekolah, dan that's it. Pencarian selama sebulan tidak menghasilkan apa - apa, dan ia pun dinyatakan meninggal. Sebenarnya dinyatakan demikian karena ia sudah berumur. Usianya sudah 75 tahun. Jadi keluarga pun merelakannya."

"75 tahun? Bukankah ia sudah harusnya pensiun?"

"Begitulah. Dari keterangan kepala sekolah kami mengetahui bahwa ia adalah seorang pendiri sekolah ini, untuk mengenang jasanya ia diperbolehkan mengajar tanpa mengenal batasan umur. Dari keterangan orang - orang terdekatnya juga kami mendapatkan informasi bahwa sebenarnya beliau tidak disukai oleh kolega guru dan murid - muridnya karena sering menggunakan hak mengajar untuk kepentingan diri sendiri."

"Seperti?"

"Mengajar tanpa mengenal waktu, mengambil jatah kelas guru lain, dan mengadakan remedial di hari libur."

"Jadi, bisa dikatakan beliau adalah orang yang gila kerja, bukan begitu?" tanya Usep.

"Benar, Usep."

"Wajar saja kalau banyak orang yang tidak suka. Aku saja dulu sering bolos sekolah. Hehehe."

"Ehm," sela Mahmud, "banyak orang yang tidak menyukainya artinya ada kemungkinan nyawa Omar dilenyapkan, bukan begitu? Dan sekarang di sinilah ia berdiri dan melayang, tidak berada di bawah tanah. Itulah pertanyaan terbesarnya menurutku, Kilesa."

Kilesa mengangguk dan berjalan kearah rangka yang menggantung, "Kau benar, Mahmud. Bagiku pertanyaan terbesarnya adalah bukan siapa yang melenyapkan nyawa Omar Suseno, melainkan mengapa ia berada di tempat ini tanpa diketahui oleh siapa pun. Aku sudah berpikir sedari tadi. Ada dua kemungkinan mengapa rangka ini tidak bisa turun ke dalam tanah bagi pelakunya."

"Apa itu, Kilesa?"

"Yang pertama, rangka ini mengandung unsur radioaktif, sehingga menimbunnya di dalam tanah akan memperburuk kondisi lingkungan."

Usep dan Mahmud dengan segera menghindar ke belakang, seakan - akan diterpa angin mendadak. Kilesa tersenyum, "Tenang saja, jikalaupun ada unsur radioaktif, tidak akan besar, buktinya kita baik - baik saja. Aku sudah meminta anak buah Mahmud untuk memeriksanya ke laboratorium kantor."

"Yang kedua, menurutku inilah yang terjadi."

Aku terdiam sebentar sebelum menjawab. Mudah - mudahan hipotesaku ini benar.

"Menjadi peringatan bagi seseorang di tempat ini, yang melihatnya setiap hari."

***

Adalah sebuah keajaiban bahwa kepala sekolah sepuluh tahun yang lalu masih bernyawa dan mampu berpikir sehat. Usianya sama seperti Omar Suseno, artinya tahun ini ia berusia 85 tahun. Ia menyambut kami di rumahnya. Teras sederhana dan teh manis hangat menyapa lidah kami.

"Selamat siang, anak muda. Sudah lama aku tidak dikunjungi orang. Sekalinya aku berkunjung, ah malah anggota kepolisian. Katakan kepadaku, adakah dari kalian yang merupakan anak didikku dulu di SMA CK?"

Kami saling berpandangan sama lain dan menggeleng. "Dengan berat hati, Pak Johanes Anwar, tidak ada dari kami yang merupakan alumni dari SMA CK. Kami ke sini, untuk bertanya tentang Bapak Omar Suseno."

Seketika menghilang senyum dari mulut Johanes. Dengan wajah muram ia bertanya tentang kasus lama ini, di mana kami menjelaskan perkembangan hingga sekarang. Ia mendesah.

"Sungguh, sebenarnya Pak Omar merupakan orang baik. Namun niatnya salah dimengerti orang banyak. Wataknya keras karena ia memang hidup di jaman serba sulit. Aku bersama - sama dengan dia adalah pendiri SMA CK, itulah mengapa aku memaklumi karakternya. Jaman berubah, tapi sifatnya tetap sama. Itulah yang membuatnya kurang disukai."

Johanes memandangku. "Kau katakan ini karena ada guru biologi baru yang melakukan tes DNA pada rangka di lab biologi? Aku tidak habis pikir. Memangnya ada orang seaneh itu?"

Usep menyerahkan kopian tes DNA kepada Johanes. Ia menggeleng - geleng. "Keajaiban itu memang ada."

"Ada yang aneh, pak?" tanyaku.

"Tidak, tidak. Jika memang benar rangka itu adalah rangka Omar, kita harus mengembalikannya kepada keluarganya. Kita akan melakukan pemakaman penghormatan. Ingat, beliau adalah salah seorang pendiri SMA CK."

"Betul, pak. Namun tugas kami di sini adalah memastikan bahwa keberadaan rangka Omar di lab biologi bukan merupakan kasus kriminal."

Johanes mengernyitkan alis, "Maksudmu, Omar Suseno dilenyapkan? Pembunuhan? Bukankah kasusnya sudah kadaluarsa?"

"Betul, pak, namun polisi bisa saja membuka kasusnya kembali. Oleh karena itulah kami di sini menghadap bapak. Apakah ada seseorang yang bisa bermaksud buruk kepada Pak Omar?"

Johanes berpikir lama, merenung, bahkan beralasan mengambil gelas cangkir teh baru ke dalam rumah. Ketika kembali, ia mengeluh.

"Kalian tahu bahwa Omar Suseno kurang disukai di sekolah karena wataknya. Tapi hanya sebatas itu. Tidak sampai ingin menghabisi nyawanya. Tapi ada seseorang..."

"Orang ini pernah dirugikan oleh Omar karena ia mengambil jatah mengajarnya. Kalian tahu, gila kerja. Bagi Omar itu bukan masalah besar, tapi bagi guru ini, merupakan masalah, karena ia butuh honor tambahan itu untuk ibunya yang sakit keras. Ibunya kemudian meninggal dan ia sejak saat itu menyalahkan Omar. Namun ia sudah diperiksa dan bersih. Keterangannya bagus dan polisi tidak menemukan masalah."

Johanes menyerahkan kertas berisi sebuah nama dan alamat. Aku mengangguk, "Baik, pak, kami akan memeriksa orang ini. Jika tidak ada masalah, maka rangka itu bisa segera dimakamkan."

Johanes juga mengangguk dan berterima kasih. Sebelum kami pergi, ia mengucapkan kata - kata perpisahan. "Pak polisi, bagiku terlalu aneh ada seseorang yang mengecek sekumpulan rangka di laboratorium dan melakukan tes DNA padanya. Aku sudah pensiun dua puluh tahun yang lalu, jadi tidak mengenal guru baru ini. Waspadalah."

***

Kami tidak buang - buang waktu dan langsung mengunjungi nama yang tertera di alamat. Kebetulan waktu sudah sore dan orang ini berada di teras halaman ketika kami datang ke rumahnya. Namanya adalah Trunojoyo. Orangnya pendek, dan sedikit bersemangat. Ia menyambut kami dengan sumringah, namun seperti Johanes Anwar, wataknya menjadi mendung ketika kami memberitahukan maksud kedatangan kami.

"Dan di SMA CK bapak adalah seorang guru...?"

"Saya di bidang olahraga."

Aku mengernyit. Jika Omar merupakan guru biologi, maka ia mengambil jatah mengajar lintas bidang. "Apakah bapak menyimpan dendam kepada Pak Omar?"

Ia mendesah. "Sudah dua puluh tahun yang lalu. Aku sudah melupakan kesalahan almarhum. Mengangkat kisah ini sama saja dengan membuka luka lama."

Aku mencoba mengerti, "Benar, pak. Kami pun tidak ingin berlama - lama. Bapak Omar Suseno sudah lama wafat dan hendak diberikan pemakaman oleh keluarga dan Pak Johanes Anwar. Kami tahu dari Pak Johanes bahwa hubungan bapak tidak baik dengan pak Omar. Aku tidak ingin membawa ini ke ranah perasaan, melainkan bukti dan alibi."

Trunojoyo mengernyit, "Bapak menuduh saya bahwa saya berbuat sesuatu kepada Omar Suseno?"

"Belum sampai sana, pak, namun kami memerlukan bukti dan alibi bapak ketika Bapak Omar menghilang. Bisa bapak sampaikan kepada kami?"

Trunojoyo hanya tersenyum sederhana, "Aku ini adalah teman baik Omar Suseno. Justru sebaliknya, pak polisi, hubungan kepala sekolah itulah yang memburuk menjelang kehilangannya."

Melihat kebingungan kami, ia melanjutkan, "Jika Pak Johanes berkata bahwa akibat Omar, saya kehilangan honor untuk merawat ibu saya, itu memang benar. Tapi ibu saya sudah stadium empat kanker, sebenarnya untuk uang berapa pun tidak dapat menolongnya. Jadi saya merelakan jabatan itu. Sebaliknya, pak polisi, Johaneslah yang menghilang di hari kehilangan Omar. Alibinya tidak kuat."

"Bisa dijelaskan tentang alibi - alibi ini? Termasuk alibi bapak." ujar Usep.

"Aku termasuk orang - orang terakhir melihat Omar Suseno. Kami berada di ruang guru sore itu, memeriksa ujian semesteran anak - anak. Ketika kami tinggal tiga atau berempat, aku mohon ijin, dan ia mengiyakan. Besoknya, kami menerima kabar bahwa Omar sudah menghilang. Kemudian dilakukan pencarian, dan hasilnya nihil. Guru - guru lain pun tidak mengetahui."

"Tentang alibiku, sepanjang malam aku berada di rumah. Anak istriku bisa memberikan kesaksian lagi jika kalian mau. Malah alibi Pak Johanes yang meragukan. Katanya ia pergi bermain futsal bersama rekan - rekan guru, padahal malam itu bukanlah jadwal bermain futsal sekolahan kami. Ia berdalih bersama rekan - rekan guru privat, bukan sekolah. Ketika ditanyakan mana rekan guru privatnya, ia berdalih bahwa mereka sudah berada di luar kota. Entahlah, pak polisi, ia memang senang berdalih dan beralasan."

Aku langsung menembak, "Baiklah, Pak Trunojoyo, bisakah kami bertemu dengan istri dan anak bapak, agar permasalahan alibi ini lekas tuntas?"

Ia tersenyum meminta maaf, "Maaf, pak polisi, anak istriku sedang berada di luar kota."

"Baik, kami tunggu mereka pulang. Karena merekalah satu - satunya dari alibi bapak, bukankah begitu?"

Lagi -- lagi ia tersenyum, "Mereka baru pulang besok, pak polisi. Hehe, aku meminta maaf. Rumahku terlalu sempit untuk menampung bapak - bapak sekalian. Besok, rumahku terbuka lebar untuk bapak - bapak."

Karena ternyata Trunojoyo pun adalah orang yang senang berdalih, aku memutuskan tidak akan membuang - buang waktu di tempat ini. Kami memohon diri. Sebelum memohon diri, lagi - lagi peringatan yang sama disampaikan olehnya.

"Pak polisi, menurut saya terlalu aneh jika ada seseorang yang melakukan tes DNA kepada rangka di lab biologi. Bapak harus mengecek guru biologi baru itu."

Kami mengiyakan dan segera menyingkir dari teras rumah. Ketika akan memasuki mobil, sayup - sayup kami mendengar dari jendela rumah seorang anak kecil yang merengek ingin main bola, dan beberapa kali terdengar pantulan bola plastik. Aku mengecek Mahmud dan Usep, dan keduanya mendengar hal yang sama. Namun pintu depan sudah tertutup rapat, dan ketika aku mengetuk pintu, tidak ada yang menjawab kami. Jadi kami pun undur diri.

***

Kami kembali ke kantor dan beristirahat di ruang divisi pelaporan. Hari sudah sore sehingga sudah tidak ada lagi publik yang melakukan pelaporan. Bagiku, tempat ini menjadi tempat favorit. Karena selain kopinya gurih, ternyata menghadirkan kasus yang tidak disangka - sangka. Berbeda dengan Usep.

"Kau tidak boleh datang ke sini lagi, Kilesa. Kepalaku ingin pecah menangani kasus -- kasus yang berasal dari luar nalar. Mana pernah aku menangani kasus tengkorak menggantung? Lagipula, lihat saja keterangan dua orang ini. Berbeda satu sama yang lain, saling menyerang, dan tidak bisa dikonfirmasi kebenarannya?"

Mahmud menjawab, "Bisa, Usep. Kita bisa datang lagi besok ke rumah Trunojoyo, lalu bertanya pada anak istrinya."

"Untuk apa, Mahmud? Malam ini Trunojoyo akan membriefing anak dan istrinya untuk menjawab sesuai kebutuhannya. Alibi ini tidak bisa dibuktikan. Bukankah begitu, Kilesa?"

"Ya, benar, Usep. Oleh karena itu kita tidak perlu memusingkan alibi keduanya. Yang kita tahu, keduanya punya masalah dengan Omar Suseno."

"Apa masalahnya dengan Johanes? Untuk Trunojoyo, ada alasannya, yaitu ibunya. Lalu Johanes?"

"Sebentar." ujarku, lalu mengangkat telepon yang masuk. Sesaat kemudian salah seorang anak buah Mahmud datang dan menyampaikan berkas. Aku membukanya dan berseru senang.

"Ada apa, Kilesa."

"Lihatlah. Ini adalah profil dari Yanti Deswitasari. Ia tidak lain dan tidak bukan adalah keponakan jauh dari Omar Suseno. Luar biasa. Jadi, tidak ada yang namanya kebetulan. Tidak ada yang namanya keajaiban, Mahmud, Usep."

Mahmud menatapku dengan serius. "Dengan kata lain, Kilesa, jangan bilang bahwa kasus ini telah selesai dan kau sudah tahu apa yang terjadi, siapa yang menjadi pelakunya."

Aku menatapnya dan membuang napas lega. "Sayangnya, dengan berkas ini semuanya menjadi jelas. Besok kita pergi ke sana menindak orang ini."

Usep menunjukkan wajah terperangah, "Kasus ini sudah selesai bagimu, Kilesa?"

Aku hanya tersenyum.

"Mudah - mudahan, kawan. Mudah - mudahan."

Kasus lain dapat dilihat di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun