"Saya memperingati majikan saya. Tapi seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, Pak Sena adalah orang yang teguh pendirian. Dan setelah saya pikir, mana mungkin ada petir yang akan menyambar tempat ini secara kebetulan, di waktu yang pas juga? Mana mungkin ada hal seperti itu? Itulah sebabnya saya pikir Pak Jainudin hanya bercanda saja. Dan orang itu datang kembali, pak. Siang ini sekitar jam dua belas."
Tepat ketika itu seseorang anggota tim forensik mendatangi Mahmud dan memberikan laporan. Laporan itu adalah rekaman cctv. Ia memberitahu ada sekitar tujuh orang yang keluar masuk rumah pada malam kemarin, lalu ada seseorang yang memasuki rumah hari ini pada pukul dua belas siang. Tidak ingin bertele -- tele, aku menunjukkan rekaman itu pada Basri.
"Apakah ini yang bernama Jainudin?"
"Betul, pak," ujar Basri, "tapi ia langsung diusir oleh Pak Sena. Dua -- duanya adu teriak, pak. Saya jadi malu sama tetangga."
Sepuluh menit kemudian layar rekaman cctv memperlihatkan Sena beradu suara di ambang pintu dengan Jainudin, dan pada akhirnya Jainudin terpaksa keluar rumah, lalu pekarangan. Basri melanjutkan.
"Jam lima sore biasanya Pak Sena berada di ruang tengah dan menonton berita, namun setelah saya telisik ternyata ia berada di lantai dua, sebelah luar. Ia memandang ke arah pekarangan tetangga dari balkon, seperti sedang memikirkan sesuatu. Saat itu cuaca mulai gelap dan gerimis. Saya jadi khawatir. Saya mencoba memperingatinya. Tapi saya juga diusir, pak. Katanya, sebelum jam delapan, kalau saya memunculkan batang hidung saya di tingkat dua, saya akan dipecat. Saya takut. Akhirnya saya menuruti. Dan jam enam, angin mulai kencang. Petir mulai bermunculan."
"Tepat jam setengah delapan, saya naik ke atas. Dan ternyata Pak Sena sudah tidak bernyawa. Mukanya sangat menyeramkan, pak, seperti sudah melihat makhluk gaib. Saya panik, takut, pak. Saya langsung telepon polisi. Saya sama sekali tidak kepikiran untuk telepon ambulans. Saya takut saya juga dalam ancaman bahaya."
Basri menunduk. Suka atau tidak suka, penjelasannya sebenarnya masuk akal. Dalam suasana tertekan dan ketakutan, orang cenderung mencari jalan aman. Selain itu, aku tidak bisa mencari motif pembunuhan. Bagi siapapun. Bagi anggota komunitas, bagi Basri, bagi Jainudin. Apakah aku harus menyelidiki saingan bisnisnya satu persatu? Sungguh sialan sekali.
Pada saat ini seorang anggota tim forensik datang dan mengonfirmasi bahwa ada kunci borgol di balik kantung baju Sena. Semuanya klop. Akhirnya aku mengijinkan Basri untuk keluar. Namun ia masih ragu -- ragu. Sepertinya masih ada yang masih ingin diceritakannya. Aku mengangguk. "Katakanlah, Basri. Ada apa?"
"Anu, begini, pak. Saya sudah tinggal di tempat ini sebelum Pak Sena menjadi pemilik, bahkan beberapa pemilik sebelumnya. Tempat ini selalu dijadikan tempat pelesiran, oleh karena itu selalu terlihat seperti baru. Namun, pemilik sebelumnya adalah orang yang suka mendongeng. Ia suka ikut mendengarkan gosip -- gosip dari tetangga. Pada suatu kali, ia menceritakan kepada saya tentang legenda petir keramat. Petir itu hanya datang seratus tahun sekali."
Basri meneguk ludah sebelum kembali melanjutkan, "Saya baru ingat ketika kejadian ini sudah terjadi. Pak Harry, pemilik sebelumnya, mengatakan bahwa pada tahun 1935 ada sebuah petir yang menyambar menara radio di daerah ini. Dan ternyata setelah ia telusuri, menara radio itu adalah rumah ini sebelumnya. Persis. Menara radio itu terbakar, dan gosipnya lima orang meninggal. Orang -- orang bilang petir itu datang juga seratus tahun sebelumnya. Saya sebenarnya bukan orang yang percaya mitos, pak. Saya juga tidak ingin menakut -- nakuti. Namun saya harap bisa berguna bagi penyelidikan bapak."