Basri mengangguk. Aku meneruskan, "Apa pengikat itu?"
"Sebuah...sebuah borgol, pak."
Charles kembali mengintimidasi, "Lalu siapa yang telah memborgol Sena ke tiang itu? Penagih hutang? Teman bisnis? Atau....bapak sendiri?"
Aku menatap Charles dengan kesal. Namun Basri menjawab dengan jelas. "Tidak, pak. Pak Sena sendiri yang mengikat tangannya ke tiang peredam petir. Kalau bapak tidak percaya, pak polisi bisa menemukan kuncinya di balik kantong celananya."
Aku terdiam mendengar jawaban Basri. Kalau benar ia yang sebenarnya membunuh Sena dengan mengikat tangannya ke tiang peredam, maka ini adalah sebuah pergerakan yang sangat berani. Namun pernyataannya tidak masuk akal. Untuk apa Sena mengikat dirinya ke tiang peredam petir?
Mahmud langsung mengambil tindakan. Ia meminta anak buahnya untuk menggeledah mayat Sena di atas. Sementara itu aku menyerah.
"Pak Basri, tolong bapak jelaskan dengan sebenar -- benarnya, apa maksud dari pernyataan bapak. Bagaimana mungkin Sena mengikat dirinya sendiri di tiang peredam petir?"
Basri mendesah, lalu menghembuskan napas panjang sebelum menjawab. "Baiklah, pak. Memang sepertinya semua ini membingungkan, jadi sebaiknya saya ceritakan dari awal. Pak Sena selain pengusaha properti, adalah seorang yang tergabung ke dalam komunitas kosmologi dan antariksa. Mereka sering berkumpul di tempat ini untuk bertemu. Saking seringnya, saya kadang -- kadang juga diperbolehkan untuk ikut kumpul -- kumpul, meski dari belakang. Itulah sebabnya saya bisa hapal nama komunitas ini. Bahkan saya juga hapal beberapa istilah aneh luar angkasa."
"Malam kemarin, mereka berkumpul -- kumpul lagi di lantai dua, sambil barbekyu. Saya memerhatikan dari belakang, sambil menyiapkan daging. Salah seorang, namanya Jainudin, adalah seorang ahli cuaca. Ia bilang bahwa besok di tempat ini, tepat di rumah ini, pada pukul 19.25, akan ada sebuah petir yang menyambar tiang peredam petir di samping itu. Semuanya tertawa mencemooh. Pak Sena bahkan berani bertaruh. Ia akan mengikat dirinya sendiri di tiang itu, lalu menyaksikan petir akan membunuhnya. Semuanya kembali tertawa, kecuali Jainudin."
"Saya memerhatikan, Pak Jainudin tidak lagi bersemangat dalam sisa pertemuan itu. Saya tebak, karena ia tahu bahwa Pak Sena adalah orang yang memegang ucapannya. Apa pun yang ia ucapkan, orang tidak akan bisa menghalangi. Pak Sena benar -- benar akan mengikat dirinya di tiang peredam petir. Di akhir pertemuan, Jainudin menghampiri saya. Ia bilang lakukan apa pun, agar Pak Sena tidak mengikat dirinya di tiang itu."
"Lalu apa yang bapak lakukan?" aku bertanya.