Saat ini penerangan remang -- remang mencahayai ruangan luar, namun sama sekali tidak menunjukkan sesuatu yang kucari -- kucari. Ya, di seluruh pelupuk mata, tidak ada mayat bernama Sena Fransiscus.
Dua orang anggota forensik masuk melalui kaca geser dari arah luar, datang dari sebelah kiri. Kami tidak melihat mereka sebelumnya. Aku mulai mengerti. Mayat itu berada di luar, di sudut mati tembok, sehingga tidak terlihat dari dalam. Aku dan Charles mulai melangkah keluar, namun Mahmud memberi kami peringatan.
"Apa pun yang terjadi, tolong jaga emosi kalian. Mayat ini berbeda dari yang lain."
Dengan wajah mencibir aku dan Charles mengabaikan perkataan Mahmud. Kami melangkah keluar. Gerimis menyambut kami. Dengan menudungi kepala, aku menyaksikan sebuah mayat yang berada di titik gelap.
Ketika kami menyorotnya dengan senter agar terlihat jelas, kami hampir terpelanting ke belakang akibat kaget. Kami terkejut. Sena Fransiscus terbujur kaku, terbaring dengan posisi yang aneh. Kakinya melipat tidak sesuai sendi, tangannya seperti hendak mencakar. Yang paling menyeramkan adalah wajahnya yang seperti melihat mahluk gaib. Setengah dari wajah itu terbakar.
Charles ketakutan, "Apakah ini perbuatan makhluk gaib? Mahmud sialan."
Namun aku cepat menguasai diri. "Tidak, tidak. Ia tidak mati oleh makhluk gaib atau sebangsanya. Bahkan ia tidak mati dibunuh."
Aku menatap Mahmud, "Adalah benar kau mengatakan agar kami tidak emosi. Sekarang aku benar -- benar emosi, Mahmud. Ia tidak mati dibunuh. Wajah orang itu menunjukkan bahwa ia mendapatkan tegangan listrik tingkat tinggi. Disetrum. Namun di tempat ini tidak ada kawat bertegangan tinggi. Kesimpulannya adalah ia dibunuh oleh alam. Ia disambar petir, Mahmud."
Charles terperangah. "Tersambar petir? Jadi, ini hanya kecelakaan belaka? Mahmud, aku benar -- benar tidak suka ini. Kami harus menempuh badai dan hujan, naik jalan menanjak, hanya untuk mendapatkan sebuah kecelakaan. Bukan pembunuhan. Ini bukan bagian kami! Tanggung jawab, Mahmud Syahmuni!"
Nampaknya Mahmud sudah mengantisipasi hal ini karena ia hanya membalasnya dengan senyum. Kemudian ia mengarahkan senternya pada sesuatu yang berada di samping mayat, yang lolos dari penglihatan kami. Lalu menjadi jelaslah mengapa ia memanggil kami kemari.
"Tadinya juga kupikir begitu, kawan -- kawan," ujar Mahmud menjelaskan, "namun benda itu menunjukkan bahwa dirinya disambar petir mungkin direncanakan. Bagaimana? Perlukah kita bahas di dalam?"