"Kau meremehkan kemampuan bertempur pasukan laut Sriwijaya. Mereka akan mati!"
Kita semua akan mati. Joko Wangkir mendengus.
"Aku tidak ingin kehilangan kesabaran, Anggabaya," Joko Wangkir membuka pedang dari sarungnya dan mengarahkan kepada Anggabaya, "Kau akan mati jika tinggal disini. Aku sebisa mungkin mencegah pasukan andalanku mati konyol menuju nirwana. Aku perintahkan kau dan pasukanmu untuk angkat kaki dari sini dan mengikutiku."
Sambil melenguh, Anggabaya berdiri. Ia mengangkat satu tangannya dan memerintahkan anak buahnya untuk melangkah pergi dari dermaga Kalingga. Tangannya yang lain memegang batok kelapa, sesekali mengarahkan ke mulutnya.
Tidak akan kubiarkan pasukan andalanku mati konyol. Tidak ada satupun kekurangan dari prajurit bawahan Anggabaya ketika kuperiksa tadi. Tugasku memastikan mereka berfungsi dengan baik.
Joko Wangkir menatap istana Kalingga. Tidak ada tanda kehadiran orang di dalamnya. Bahkan kokokkan ayam pun tidak hadir di sana. Istana tersebut kosong melompong. Pintu istana terkunci dengan rapat.
Di mana Bupati Kalingga? Kabur karena takut? Itu bukanlah tabiatnya. Tapi melihat perumahan warga juga kosong melompong, aku menyerahkan nasib mereka ke tangan Batara Siwa.
Joko Wangkir bersama Anggabaya melangkah beriringan di atas kudanya. Mereka menuju ke arah selatan. Langit telah berubah menjadi gelap ketika mereka sampai di Pendopo Dieng. Awan Senggana bersama istrinya menyambut mereka.
"Selamat sore, bupati, Suciwati, salam bagi kalian semua."
"Salam bagi kalian semua, prajurit. Kulihat kau berhasil membujuk Anggabaya."
"Tidak membujuk, Senggana. Aku memaksanya. Ia hanya tidak ingin menambah luka lebam di mukanya."