Pasukanku bisa menandingi mereka karena memang jumlah kami seimbang. Bantuan dari tanah Galuh membuat jumlah pasukan kami menang dari sisi jumlah. Pasukan Sriwijaya bukan dibagi dua, melainkan tiga. Tiga!
Ia berusaha untuk berdiri di atas kakinya dan berlari terpincang -- pincang menuju kuda tanpa pengendara di dekatnya. Iyang Taslim dan Unggun Krama bertanya -- tanya atas tindakan sang panglima, begitu pula dengan Iswana Isyana dan Redian Lintarbumi.
"Panglima, kau perlu istirahat. Pertarungan sudah usai, sudah kita menangkan." Iyang Taslim berujar.
"Belum, Taslim! Kita belum menang! Kalian berdua, kumpulkan tentara yang masih bisa bertempur, ikuti aku dari belakang menuju Prambanan. Kita harus berlari! Ini adalah sebuah perintah, cepat laksanakan!"
Menahan sakit yang mulai menguasai dirinya, Joko Wangkir menaiki kudanya dan melesat menuju arah Prambanan. Langit sudah mulai membiru gelap pada saat itu.
Masa bodoh dengan kegelapan. Akan kutahan sakit ini dan gelap malam yang mengelilingi, selama masih bisa menyelamatkan kedaulatan kerajaan.
Selama perjalanan Joko Wangkir terus menyalahkan dirinya. Ia tidak menyadari bahwa semboyan Sriwijaya adalah merupakan petunjuk terbesar bagaimana Sriwijaya bertempur di atas daratan.
Sial, mengapa aku menyadari selambat ini. Aku tidak melihat Vijayasastra di medan perang. Padahal aku selalu mengingatkan diri pada semboyan kerajaan itu. Sial, semoga masih ada waktu.
Sebab, kemanakah musuh dapat melarikan diri, jika pulau sudah terkepung?
Cerita lebih lengkap dapat dibaca di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H