Seseorang bertubuh gempal berusia setengah baya berlari keluar pintu masuk pendopo. Mukanya sumringah begitu melihat Pramoda berada di kursi belakang kereta kuda. Jayaputra menghentikan kuda tepat pada pintu masuk pendopo, dan Pramoda melangkah keluar kereta kuda serta memeluk pria bertubuh gempal tersebut.
"Putriku yang cantik, senang sekali melihatmu," seru si pria gempal membuka percakapan setelah berpelukan sekian lama.
Pramoda tersenyum, "Senang juga bertemu denganmu, paman. Perutmu bertambah sepuluh kerutan semenjak aku bertemu terakhir kali denganmu."
Pramoda memerhatikan orang di depannya dengan seksama. Rambutnya hitam dengan beberapa hiasan uban di kepalanya, berkumis tebal, bermuka ramah, berperut besar, dan bau jengkol. Untuk persona terakhir jika saja orang ini bukan bawaan sang kakek dari Kerajaan Sriwijaya dan bukan teman masa kecil Pramoda, maka ia akan menyuruh orang lain membenamkan orang ini di Kolam Taman Anyelir, sampai bau jengkolnya menghilang. Tapi ia tak pernah berubah. Bupati Mataram, Kartawiyana.
"Ayo masuk, tuan putri, mari beristirahat di gubukku tercinta ini. Kedatanganmu selalu mendadak. Aku tidak sempat menyiapkan segala sesuatu. Ayo, makan saja apa yang ada di sini. Mudah -- mudah Hindun baru saja belanja dari pasar" sang bupati mempersilahkan Pramoda masuk pendopo.
Pendopo Mataram bukanlah bangunan besar. Jika diperkirakan, maka ruangan utama hanya sepertiga ruangan utama istana Medang. Hal yang selalu membuat Pramoda betah dan rindu untuk kembali ke tempat ini adalah suasananya. Memasuki pendopo, pelaku akan disuguhkan pemandangan indah dari halaman di seberang pintu masuk.Â
Sisi utara ruangan utama sengaja tidak dibatasi oleh dinding atau pintu, agar pendatang dapat melihat keindahan air terjun kecil -- kecilan hasil buatan sang bupati.Â
Tinggi air terjun itu hampir tiga depa. Air terjun tersebut berakhir pada sebuah kolam besar dimana ikan -- ikan hias hidup di dalamnya. Seperti Taman Anyelir, kolam ini pun memiliki jembatan yang membelah kolam tersebut sehingga pelaku dapat menikmati keindahan air terjun dan kolam dari tengah jembatan. Lampu taman menambah sisi romantisme keindahan taman tersebut di samping suara jangkrik dan kelap -- kelip kunang -- kunang.
Sisi barat ruangan utama terhubung dengan ruangan kerja sang bupati sementara sisi timur merupakan ruang keluarga. Kartawiyana segera mempersilahkan Pramoda untuk menuju ruang keluarga. Di ruang makan ia dapat melihat Bi Hindun sedang tergopoh -- gopoh mempersiapkan makanan. Meja makan kini telah terisi penuh dengan makanan: sangu, ikan asin, bebek goreng, tahu tempe, telur, pisang, dan tumis kangkung. Tidak lupa lalapan jengkol dan cabe pedas kesukaan sang bupati.
"Selamat malam, bibi, senang bertemu denganmu," sapa Pramoda begitu tatapan mereka bertemu.
"Malam, Pramodawardhani. Masih ingat saja kau dengan bibimu ini" Hindun setengah bercanda menimpali Pramoda.