“Dia.. dia sudah mati!!! Kau dengar itu? Mati! Jangan membohongi dirimu sendiri, San, dia sudah tiada! Jangan berkhayal seakan-akan dia ada! Apa kamu gila?”
Dunia yang aku tahu kembali menghilang, tertelan dalam kegelapan. Aku masih berusaha membantah, aku tahu aku benar.
“Mustahil.. dia masih hidup kan? Dia masih hidup kan? Itu fakta.. dia masih hidup. Dia masih hidup. DIA MASIH HIDUP!!”
“Jangan bercanda!! Dia sudah lama tiada! Jangan mengharapkan orang yang sudah tidak mungkin kau dapatkan! Jangan lari dari kenyataan, San! Itu hanya ilusi, ilusi belaka, bukan fakta!”
“Ta-tapi… di-di-dia masih bicara denganku tadi.. dia masih ada di sampingku tadi pagi.. dia.. dia..”
“Jangan bodoh! Itu cuma khayalanmu saja! Itu cuma ilusimu!”
“Tapi. Cecil.. dia.. Jess. Jessica..”
“San, sadar! Dia sudah mati! DIA SUDAH MATI!”
“Di.. dia.. AAAAAAAAAH!! AAAAAAAAAAAAAAAAHHHH!! AAAAAAAH!!!”
Dunia di sekelilingku hancur. Aku sudah kehilangan segala rasa rasionalitas, pikiran dan perasaanku. Hatiku yang sempat muncul kembali termakan oleh kesedihan mendalam dan rasa galau yang menusuk tubuhku layaknya seribu anak panah yang ditembakkan bersama-sama. Semua hilang. Kekacauan mulai menguasai pikiranku dan mengendalikannya. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan sekarang. Aku langsung berlari, meninggalkan Cecil disana sendiri.
Berlari. Berlari dan berlari, mencoba lari dari kenyataan. Kenyataan yang sudah jahat padaku, merebut sesuatu dariku tanpa minta persetujuan terlebih dahulu. Aku terus berlari, berlari dan berlari, seolah berkejaran dengan kenyataan pahit itu. Sampai akhirnya aku tiba di sebuah jembatan dan berhenti, sesudah yakin kenyataan itu takkan bisa mengejarku lagi.