"OTT?"
"Ya, OTT."
Bluk. Aku menjengkangkan tubuh ke tempat tidur. Langit-langit di atas seperti runtuh. Menimpaku dengan ribuan kembang dan tanaman hijau. Berbareng dengan air keruh dan bau menyengat
Melarikan diri ke Lembang bukan menghindari apa yang belakangan kutangkap dari perselisihan tingkat dewa. Tingkat orang-orang yang kucintai dengan kedewasaan dan sekaligus bermartabat bila terjadi selisih pendapat. Papa bukan tipikal lelaki emosional. Mama bukan pula wanita menor dengan segala hal yang memungkinkan seorang emak-emak yang gampang melabrak jika ada gossip masuk ke gendang telinga.
Aku sudah merasakan itu hingga lulus dari sebuah perguruan tinggi terbaik negeri ini. Dengan jurusan Bogor pinggiran yang sejuk. Meski aku sejak awal tidak ingin menjadi petani. Justeru menyimpang. Ekonomi. Ya, ada di perguruan tinggi dengan salah satu motornya lelaki bermartabat dan sekaligus menjaga moral. Yang sangat tidak suka kalau seorang pendidik disebut mantan bagi anak didiknya setelah berpisah karena sudah melewati kuota belajar.
"Andi Hakim Nasution ...," desisku.
Orang yang samar-samar masih kuingat. Dengan rambut putihnya ketika aku masih kecil. Lelaki yang menulis buku cerita anak-anak yang telah kubaca dari rak buku di keluarga. Yang kata Papa, sengaja dibeli dan kemudian dimintakan tanda tangannya ketika menjadi nara sumber dalam sebuah seminar: Apa setelah SLA?
"Anda meminta tanda tangan dari buku novel anak-anak karya saya?" tanya Andi Hakim Nasution kepada Papa.
"Buku ini karya Pak Andi, kan?" Papa balik bertanya.
Andi Hakim tertawa.
"Kalau tidak salah."