Cerita Minggu Pagi
Bagian empat
Dingin di Lembang terasa. Meski lebih terasa hangat berjalan di samping Donny. Energinya kuat. Energinya positip dengan ion-ion lelaki yang lebih tinggi dariku yang terbilang mendekati seratus tujuh puluh centimeter.
"Saya hanya bisa mengantar sampai di sini ...."
Aku terima. Aku tak bisa dan tidak boleh berlebih mengharap darinya. Lelaki yang langsung membetot hati sekaligus mengaduk-aduk rasa dan berujung pada senyum-senyumku tak tertahankan. Aku bisa menyebut apa itu artinya. Namun aku menepiskannya. Malu. Mesti itu tak terhindarkan dengan rona wajahku yang bisa menyerupai strawbbery muda. Yang masih membutuhkan air dari langit.
Menghempaskan diri di tempat tidur empuk, aku tatap langit-langit bersih dengan dinding-dindingnya berlukisan abstrak karya pelukis Bandung terkena. Â Tisna Sanjaya. Lukisan yang tiba-tiba menyerupai kembang dan hijaunya kebun strawberry yang siang tadi kusambangi dengan kekuatan entah. Hanya karena penasaran pada lelaki yang kutabrak di depan pintu tak jauh dariku rebahan kini.
Henpon berdering.
"Halo ...," sahutku.
"Kamu sudah baca, El?"
"Baca apa ya?"
"Haduuuh...."
Aku menelan ludah.
"Kenapa, Ma?"
Ada tarikan nafas dalam dan panjang. Sebuah penyesalan atas  mengeesponku. Ini kebiasaan jelekku. Yang kelewat akrab dengan mamaku. Wanita yang energik tak pernah mengeluh. Wanita yang sulit untuk kutiru perangainya. Wanita harus dalam arti sesungguhnya.
"Ke mana saja kamu?"
"Ya, ada. Kan tetap bisa dihubungi Mama."
"Maksud Mama ...."
"Apa?"
"Bacalah WA Mama."
Klakep. Henpon berhenti.
Papa ketangkep KPK ....
Kutelpon Mama.
"OTT?"
"Ya, OTT."
Bluk. Aku menjengkangkan tubuh ke tempat tidur. Langit-langit di atas seperti runtuh. Menimpaku dengan ribuan kembang dan tanaman hijau. Berbareng dengan air keruh dan bau menyengat
Melarikan diri ke Lembang bukan menghindari apa yang belakangan kutangkap dari perselisihan tingkat dewa. Tingkat orang-orang yang kucintai dengan kedewasaan dan sekaligus bermartabat bila terjadi selisih pendapat. Papa bukan tipikal lelaki emosional. Mama bukan pula wanita menor dengan segala hal yang memungkinkan seorang emak-emak yang gampang melabrak jika ada gossip masuk ke gendang telinga.
Aku sudah merasakan itu hingga lulus dari sebuah perguruan tinggi terbaik negeri ini. Dengan jurusan Bogor pinggiran yang sejuk. Meski aku sejak awal tidak ingin menjadi petani. Justeru menyimpang. Ekonomi. Ya, ada di perguruan tinggi dengan salah satu motornya lelaki bermartabat dan sekaligus menjaga moral. Yang sangat tidak suka kalau seorang pendidik disebut mantan bagi anak didiknya setelah berpisah karena sudah melewati kuota belajar.
"Andi Hakim Nasution ...," desisku.
Orang yang samar-samar masih kuingat. Dengan rambut putihnya ketika aku masih kecil. Lelaki yang menulis buku cerita anak-anak yang telah kubaca dari rak buku di keluarga. Yang kata Papa, sengaja dibeli dan kemudian dimintakan tanda tangannya ketika menjadi nara sumber dalam sebuah seminar: Apa setelah SLA?
"Anda meminta tanda tangan dari buku novel anak-anak karya saya?" tanya Andi Hakim Nasution kepada Papa.
"Buku ini karya Pak Andi, kan?" Papa balik bertanya.
Andi Hakim tertawa.
"Kalau tidak salah."
"Berarti benar."
"Benar. Hanya, saya yang seperti melupakan jika saya pernah menulis novel yang paing mengesankan ini. Dan Anda membawa buku itu, lalu meminta tanda tangannya...."
Papa tertawa.
"Saya sudah membaca lebih dari dua kali. Sehingga faham bahasa perbincangan  tokoh utamanya itu dengan teman-temannya dalam Petualangan Tam."
"O."
"Saya kira, buku ini akan saya berikan kepada anak-anak saya kelak saat ia bisa membaca."
"Apa pesan yang anda tangkap dari novel itu?"
"Kita harus tangguh dan jujur. Dua hal yang takkan luntur oleh zaman."
Aku memejamkan mata. Mengingat apa yang Papa ceritakan dengan sabar saat aku bertanya pada awal membaca novel anak-anak yang tidak terlalu terkenal dibandingkan dengan pengarang lebih muda seperti Dwianto Setyawan, Arswendo Atmowiloto, Djoko Lelono dan Bung Smas yang kemudian kubaca.
"Kamu di mana, sih La?"
"Ya...," aku tercekat. Bingung untuk menjawab.
"Mama ingin nangis ...."
"Ya ...."
"Bersamamu."
Aku sudah menangis. Tak henti. Meski tidak lagi dengan isak. Juga air yang keluar mengalir melewati pipi yang belum lama hangat sambil mendengar dendang lagu yang menurut Mama lagu paling dahsyat di dunia. Di mana burung-burung pun merunduk takzim atas lagu yang begitu indah. Melati dari Jayagiri. Di sekitar itu aku, Ma.
***
Bersambung.Â
Denpasar, 10/2/19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H