Cerita Minggu Pagi
Bagian empat
Dingin di Lembang terasa. Meski lebih terasa hangat berjalan di samping Donny. Energinya kuat. Energinya positip dengan ion-ion lelaki yang lebih tinggi dariku yang terbilang mendekati seratus tujuh puluh centimeter.
"Saya hanya bisa mengantar sampai di sini ...."
Aku terima. Aku tak bisa dan tidak boleh berlebih mengharap darinya. Lelaki yang langsung membetot hati sekaligus mengaduk-aduk rasa dan berujung pada senyum-senyumku tak tertahankan. Aku bisa menyebut apa itu artinya. Namun aku menepiskannya. Malu. Mesti itu tak terhindarkan dengan rona wajahku yang bisa menyerupai strawbbery muda. Yang masih membutuhkan air dari langit.
Menghempaskan diri di tempat tidur empuk, aku tatap langit-langit bersih dengan dinding-dindingnya berlukisan abstrak karya pelukis Bandung terkena. Â Tisna Sanjaya. Lukisan yang tiba-tiba menyerupai kembang dan hijaunya kebun strawberry yang siang tadi kusambangi dengan kekuatan entah. Hanya karena penasaran pada lelaki yang kutabrak di depan pintu tak jauh dariku rebahan kini.
Henpon berdering.
"Halo ...," sahutku.
"Kamu sudah baca, El?"
"Baca apa ya?"
"Haduuuh...."