Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | (RTC) Buku Baru untuk Erni yang Rumahnya Ditiup Puting Beliung

16 Januari 2019   20:59 Diperbarui: 16 Januari 2019   21:11 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angin ribut. Seperti semburan raksasa marah. Genteng-genteng beterbangan. Pohon meliuk-liuk, dan kemudian tumbang. Tiang listrik pun berserak.

"Emaaaak ...!"

Seruan Erni ditelan suara gemuruh. Hingga kemudian tercipta pemandangan abstrak. Membuat gadis kecil itu mematung, dan tak habis pikir. Rumah-rumah berantakan, tak berbentuk. Termasuk rumah kecil sederhana yang ditempati Erni. Yang tadi tidur dan terjaga karena suara gemuruh. Bersamaan rumahnya ambruk.

Tivi kecil satu-satunya hburan pecah tertimpa atap dan dinding. Erni lebih sedih karena buku-bukunya basah tersiram air dari tempayan yang pecah.   

"Emaaaak ....emak di mana?" desis gadis berambut acak-kadut. Bagian kepala kusut-masai. Dengan wajah sulit dilukiskan.

Seorang wanita menghampiri Erni. Sebuah tangan menggelayut di pundak anak kelas empat SD Rancaekek tak jauh dari jalan raya yang berendeng kendaraan. Ribut dengan suara mesin berbaur klakson tak sabar.

"Kamu tidak apa-apa, Neng?"

Gadis kecil itu mengiyakan dengan gerakan kepala. Pelan.

"Kamu sudah makan, Neng?" tanya Mak Pinah, tetangga sebelah rumah.

Erni menggeleng.

"Mak ada nasi. Atau kamu mau mie?" tawar Mak Pinah.

"Aku mau Emak saja. Di mana dia? Tadi, sewaktu Neng tidur, ia ada."

Mak Pinah tak bisa menjawab. Angin ribut mengacaukan semua. Termasuk ia yang selamat tak ditibani bangunan yang di sebelah-menyebelah hancur berkeping-keping.

"Ini azab, ya Mak Pin?" tanya Erni dengan lugu. Masih termangu dengan pemandangan di sekitarnya.

Mak Pinah tak bisa menjawab.

"Kamu tahu dari mana?" wanita itu duduk dan sama-sama memandang ke depan. Seperti anak dan emak.

"Dari tivi."

"Dari tivi?"

Erni mengangguk.

"Tapi azab itu untuk orang yang suka memaki."

Mak Pinah menghela nafas dalam-dalam. Ia pun pernah menonton acara itu di tivi. Tentang orang-orang yang seperti diingatkan akan perbuatan-perbuatannya. Terutama yang seenaknya memperlakukan manusia, alam dan Tuhan. Demi kepentingannya. Demi naluri kebejatannya.

"Angin ribut puting beliung ini bukan azab, Neng."

Erni tak langsung menjawab. Ia masih diam, lama. Namun demi Emak tak kunjung tampak, ia tetap bingung dan tidak mengerti harus berbuat apa.

"Tapi kenapa kita, semua diazabkan begini. Eh,  diratakan dengan tanah begini, Mak?"

"Sabar, ya Neng."

"Sabar untuk apa? Nunggu emak pulang? Sementara rumah kita ambruk," Erni menangis.

Mak Pinah menelah ludah.

"Kamu makan mie ini dulu. Jangan sampai perutmu kosong. Nanti sakit...."

Mak Pinah pulang. Rumahnya tidak serusak rumah Erni. Tak lama ia balik.

"Ini, makanlah. Nanti kita cari Emak."

"Ya, Mak." Dan Erni menerima mie instan seduhan yang dibuat Mak Pinah. Disuapinya mulut kecilnya. Sulur-sulur kuning pelan-pelan masuk. Lalu kuahnya. Perut terasa hangat. "Mak, apa emak sudah makan?"

Remang petang. Gadis itu tidak mandi. Ia masih saja menunggu emak. Yang menghilang entah ke mana. Mungkin sedang? Ah, Erni tak ingin membayangkan jauh tentang orang yang selama ini tinggal berdua di gubug kecil, sementara ayahnya bekerja ke Jakarta. Menjadi buruh dengan berbekal cangkul dan pengki. Dan dua pasang celana di atas mata kaki dan dua baju serta satu kaos lusuh bertuliskan: Bandung Euy!

***

Erni tertidur di rumah Mak Pinah yang kondisinya lebih baik. Perutnya cukup kenyang meski hanya makan mie  instan yang kerap ia makan bersama emak. Ketika ayah tak kunjung pulang dan tak memberi uang yang dititipkan teman ayah yang sama-sama bekerja serabutan di Jakarta. Ayah tidak punya rekening bank. Ayah juga tidak punya HP.

"Er....Er...!" suara lembut Emak, menepuk-nepuk betis anak SD kelas empat itu.

Lalu seorang lelaki, berjongkok. Dan mengelus-elus betis sebelah yang emak elus.

"Ini ayah pulang."

Tak ada jawaban.

"Ayah bawakan ... buku."

Tak bergeming.

"Buk .... buku ini untuk ...." Ayah tak kuasa meneruskan. Suaranya serak. "Ayah tadinya ingin menghadiahimu. Tapi, tadi kulihat buku-bukumu rusak semua. Tempayan pecah. Airnya menumpahi bukumu...."

Ayah yang tak pernah menangis, airmatanya tumpah. Emak hanya bisa menepuk-nepuk pundaknya lelaki itu.

Erni kaget ketika tersadar. Wajah ayahnya yang gosong, tersenyum. Sambil memperlihatkan buku. Bergambar pemandangan indah. Perkebunan teh yang menghijau.

"Itu untuk Neng, ayah?" tanya gadis itu sambil merebut buku dari tangan ayah.

Ayah tersenyum.

"Ayah sengaja belikan untuk Neng."

Erni mendekap buku baru itu. Buku pemandangan perkebunan teh di Pengalengan. Malabar.

"Itu pengganti bukumu ...."

Perkataan itu seperti menyadarkan Erni. Yang tadi menyelematkan diri dari reruntuhan gedek rumah sederhananya. Lalu mencari Emak. Yang meninggglkannya saat ia tidur.

"Maafkan Emak. Tadi meninggalkan Neng. Sebelum ada angin kencang. Emak niatnya mencari tahu Ayah. Untuk meminta tolong  menghubungi ayah lewat anak mang Karta yang punya hape," jelas Emak.

Mereka bertiga berpelukan. Disaksikan Mak Pinah. Orang  terdekat yang sering meminjami uang kepada emak kalau sedang tidak punya beras. Seperti niat Emak tadi menghubungi Ayah. Sebelum angin yang memporak-porandakan rumahnya.  

"Kita bersyukur. Masih diberi perlindungan Allah. Dari  angin puting beliung yang merusak di desa kita, Rancaekek," tutur Ayah. Lalu ayah bercerita orang-orang Jakarta yang sebagian menjadi korban tsunami di Pandeglang, Banten.

Erni membenarkan. Ia menontonnya di tivi. Sebuah panggung ambruk, dan termasuk berita pelawak yang mirip AA Gym menjadi korban. Peniru ulama yang dari Sunda.

"Ini duka kita, ya Yah ...."

Ayah membenarkan. Saling pandang dengan emak.

"Eneng tadi berpikir, ini azab ...."

Ayah dan Emak saling pandang lagi. Keduanya menggeleng. Memberi isyarat kepada Erni, anak semata wayangnya.

"Bukan, ya Yah?"

Ayah mengangguk.

"Bukan ya Mak?"

Emak mengangguk.

Erni kembali memeluk ayah yang memberi hadiah buku. Buku yang akan menggantikan buku-bukunya yang rusak. "Aku akan menulisinya. Dan aku akan belajar lebih baik," desis anak itu.

***   

Karya ini diikutsetakan dalam rangka mengikuti event cerpen RTC Duka Indonesiaku

 

Logo RTC 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun