Erni tertidur di rumah Mak Pinah yang kondisinya lebih baik. Perutnya cukup kenyang meski hanya makan mie  instan yang kerap ia makan bersama emak. Ketika ayah tak kunjung pulang dan tak memberi uang yang dititipkan teman ayah yang sama-sama bekerja serabutan di Jakarta. Ayah tidak punya rekening bank. Ayah juga tidak punya HP.
"Er....Er...!" suara lembut Emak, menepuk-nepuk betis anak SD kelas empat itu.
Lalu seorang lelaki, berjongkok. Dan mengelus-elus betis sebelah yang emak elus.
"Ini ayah pulang."
Tak ada jawaban.
"Ayah bawakan ... buku."
Tak bergeming.
"Buk .... buku ini untuk ...." Ayah tak kuasa meneruskan. Suaranya serak. "Ayah tadinya ingin menghadiahimu. Tapi, tadi kulihat buku-bukumu rusak semua. Tempayan pecah. Airnya menumpahi bukumu...."
Ayah yang tak pernah menangis, airmatanya tumpah. Emak hanya bisa menepuk-nepuk pundaknya lelaki itu.
Erni kaget ketika tersadar. Wajah ayahnya yang gosong, tersenyum. Sambil memperlihatkan buku. Bergambar pemandangan indah. Perkebunan teh yang menghijau.
"Itu untuk Neng, ayah?" tanya gadis itu sambil merebut buku dari tangan ayah.