Angin ribut. Seperti semburan raksasa marah. Genteng-genteng beterbangan. Pohon meliuk-liuk, dan kemudian tumbang. Tiang listrik pun berserak.
"Emaaaak ...!"
Seruan Erni ditelan suara gemuruh. Hingga kemudian tercipta pemandangan abstrak. Membuat gadis kecil itu mematung, dan tak habis pikir. Rumah-rumah berantakan, tak berbentuk. Termasuk rumah kecil sederhana yang ditempati Erni. Yang tadi tidur dan terjaga karena suara gemuruh. Bersamaan rumahnya ambruk.
Tivi kecil satu-satunya hburan pecah tertimpa atap dan dinding. Erni lebih sedih karena buku-bukunya basah tersiram air dari tempayan yang pecah. Â Â
"Emaaaak ....emak di mana?" desis gadis berambut acak-kadut. Bagian kepala kusut-masai. Dengan wajah sulit dilukiskan.
Seorang wanita menghampiri Erni. Sebuah tangan menggelayut di pundak anak kelas empat SD Rancaekek tak jauh dari jalan raya yang berendeng kendaraan. Ribut dengan suara mesin berbaur klakson tak sabar.
"Kamu tidak apa-apa, Neng?"
Gadis kecil itu mengiyakan dengan gerakan kepala. Pelan.
"Kamu sudah makan, Neng?" tanya Mak Pinah, tetangga sebelah rumah.
Erni menggeleng.
"Mak ada nasi. Atau kamu mau mie?" tawar Mak Pinah.