Aku binatang jalang
Dari kumpulan sampah yang terbuang!
Memerankan sebagai Mucikari dalam pementasan “Bersatulah Pelacur-pelacur Jakarta”, tak sulit bagi Helda. Ia sudah kapalen membacai sajak WS Rendra yang kemudian diadaptasi menjadi lakon pementasan besok malam itu.
“Karena aku bersahabat dengan mereka,” jawab Helda kepada Gintini, wartawati koran terkenal Suara Kidung, seusai Gladi Bersih. “Aku sangat menghayatinya,” imbuhnya.
“O, begitu, Mbak Hel?”
“Gitulah.”
“OK. Sampai pementasan besok, ya?”
Mereka pun berpisah. Sebenarnya Gintini menawarkan boncengan, tapi ditolak dengan halus. Helda naik Ojek Online. Sampai di ujung gang, dan ia minta turun.
“Bener nggak sampai rumah, Mbak?” tanya Tukang Ojek.
Helda mengibaskan tangan. “Ini tempatku bertahun-tahun. Aku sangat mengenalnya.”
“Hati-hati, Mbak ....”
Berjalan setengah menyeret karena kelelahan, Helda terantuk batu. Spontan ia berseru,“Croooot ...!”
“Kok, crot, sih?” tanya sebuah suara.
Helda berhenti, dan mengernyitkan kening. Suara yang kukenal, bisiknya. “Tapi bukankah ia ....”
Menengok ke kiri dan kanan, ia tak menemukan sosok apa pun. Besar, kecil, hitam atau semenyeram apa pun akan ia tatap dengan berani. Namun ia mengakui, sekitar lehernya meremang.
“Kau bukan Yatmi, kan? Temanku yang ....”
“Kalau ya?”
Helda kembali mengernyitkan kening. Ia yang biasa berlatih secara monolog sebagai orang Teater Kuburan, merasa aneh. Sebab, ia sedang berdialog dengan suara entah siapa pemiliknya. Bukan Yatmi yang dipanggilnya Yat Yat. Seorang ...yang tiga hari lalu ia ikut melayatnya sebelum jenasahnya dibawa untuk dimakamkan di kampung halaman.
“Jadi ...?” Helda tak surut. Pantang takut.
“Sudahlah, Hel. Tidur saja dulu. Kau capek, kan?”
Helda memutar tubuh dan memandangi ke sekitar tempat tak banyak penerangan di pinggiran kota itu. Tetap tak ditemukan apa pun. Kecuali kegelapan dan kesunyian malam yang diperkirakan sudah mencapai pukul nol-nol.
“OK. Aku akan pentas besok. Jangan ganggu ....”
“Taklah,” suara itu halus dan ramah. “Selamat ....”
Helda hanya menghela nafas, dan kembali melanjutkan sisa langkahnya yang tak membutuhkan waktu dua menit untuk masuk ke kamar kosnya.
***
Sebagai Mucikari yang membawahi lima orang pelacur, Helda tak nervous apa pun. Ia tenang-tenang saja di belakang pentas. Sesekali, ia mengintip ke arah bangku penonton. Ia senang karena seperti yang disebutkan Desol sang sutradara, tiket habis. Untuk pementasan dua malam itu.
“Kau OK, Hel?” tanya Desol.
Helda menjentikkan jari tengah dan jempolnya.
“OK. Aku percaya. Persiapan kau lebih dari cukup. Apalagi kau ....eh.”
“Apa?”
“Kudengar Yatmi teman yang kau jadikan observasi....”
“Ya, temanku yang pelacur itu meninggal. Atau tewas. Gitu ajak kok repot.”
Desol menahan senyum.
Gong terdengar. Sebagai pementasan akan dimulai. Desol pun menepuk punggung Helda. Dan ia segera memberi tanda kepada para pemain yang akan muncul lebih dulu.
Musik terdengar.
Helda menarik nafas dalam-dalam. Ia teringat perbincangan semalam dengan tetangganya yang sudah almarhum. Yatmi yang dikebumikan di kampung halamannya, di kota kecil di Jawa Tengah. Ia meninggal karena dihabisi lelaki langganan yang pernah diceritakan oleh Yatmi kepadanya. Meski tak disebutkan siapa dan namanya.
“Aku sesungguhnya suka dengannya. Tapi, ia kuketahui ternyata suami dari temenku, Ay. Itu yang tak bisa kuterima, Mbak Hel.”
Helda mengibaskan tangan sendiriteringat perbincangan itu. Dan ia berkonsentrasi untuk berperan sebagai Mucikari.
Gong. Pementasan berakhir.
“Permainan Hel ... kuat sekali,” uji Gintini di belakang panggung ketika menyambut Helda turun dari panggung.
“Terima kasih.”
“Kalau tak keberatan, aku mengantar Mbak Hel....”
“Oh ....”
“Aku bawa motor. Biasa.”
Helda yang biasa tak suka orang mengetahui tempat kosnya, tak menampik. Mereka pun melaju dengan tenang di sepeda motor matik.
“Aku lapar. Gimana kalau kita berhenti makan mie rebus dulu.”
“Okay!” Gintini pun membelokkan motor ketika Helda memberi isyarat.
Ternyata itu sebuah gerobak mie tek-tek yang berada di tempat tak terlalu ramai dan tidak jauh dari gang rumah kos Helda. Bahkan malam itu tak ada yang sedang mengudap kuliner murah-meriah itu.
“Aku ikut saja, deh. Sama mie godog,” kata Gintini kepada penjuallnya, seorang laki-laki.
Keduanya menunggu, sambil terus asyik berbincang. Ini yang dikehendaki Gintini untuk bahan tulisan di medianya.
“Ayo, kita santap ...!” ajak Helda kepada Gintini.
Namun saat itulah berhembus angin kencang. Lalu dari arah kiri, muncul sesosok bayangan. Dan ia berkata langsung kepada Helda.
“Jangan makan, Hel ...!”
Helda mengernyitkan kening. “Kenapa?”
“Perhatikan isi mangkuk, miemu itu!”
Helda mengikuti perintah itu. Dan betapa kagetnya. Ia langsung membuang mangkuk mie rebusnya.
“Hiiiy ...!” seru Gintini pula, dan langsung membuangnya. Demi di mangkuknya berisi cacing.
Pedagang mie tek-tek itu pun gemetaran.
“Aku sudah melakukan ini sejak ...!” kata sesosok yang tak jelas wajahnya itu.
“Sejak kapan, Yat?” tanya Helda dan mendekati sosok tak diundang itu.
Mereka berdialog sebagaimana mestinya. Dengan gayeng. Meski Gintini bingung, ia melihat wajah sosok yang disebut Yatmi itu berdarah. Apalagi arah pembicaraan keduanya seperti dalam pementasan di atas panggung tadi. Bernas dan bermakna dalam. Sementara penjual mie itu sudah ngibrit ke arah gang yang ke kos Helda.
“Nah! Dia masuk perangkap!” kata sosok itu, dan meninggalkan Helda dan Gintini. “Aku bereskan dulu laki-laki sok ganteng itu ...! Dialah yang ....”
Helda menghela nafas dalam-dalam.
“Heh ...!” dengus Gintini. “Helda kok tenang menghadapinya?”
Helda tertawa.
“Kok malah tertawa.”
“Ya, itu tadi adu akting. Ngukur aku sendiri ...!”
“Adu akting dengan setan?”
“Hehehe ....” Helda menepuk punggung Gintini. “Udah. Trims. Sampai di sini saja, ya?” Ia melangkah ke arah gang pelarian tukang mie yang menjadi pacar Yatmi.
“Hel ....Hel!”
Pemeran Mucikari itu melenggang sambil mengibaskan tangannya. ***
Angkasapuri, 11/1/17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H