Berjalan setengah menyeret karena kelelahan, Helda terantuk batu. Spontan ia berseru,“Croooot ...!”
“Kok, crot, sih?” tanya sebuah suara.
Helda berhenti, dan mengernyitkan kening. Suara yang kukenal, bisiknya. “Tapi bukankah ia ....”
Menengok ke kiri dan kanan, ia tak menemukan sosok apa pun. Besar, kecil, hitam atau semenyeram apa pun akan ia tatap dengan berani. Namun ia mengakui, sekitar lehernya meremang.
“Kau bukan Yatmi, kan? Temanku yang ....”
“Kalau ya?”
Helda kembali mengernyitkan kening. Ia yang biasa berlatih secara monolog sebagai orang Teater Kuburan, merasa aneh. Sebab, ia sedang berdialog dengan suara entah siapa pemiliknya. Bukan Yatmi yang dipanggilnya Yat Yat. Seorang ...yang tiga hari lalu ia ikut melayatnya sebelum jenasahnya dibawa untuk dimakamkan di kampung halaman.
“Jadi ...?” Helda tak surut. Pantang takut.
“Sudahlah, Hel. Tidur saja dulu. Kau capek, kan?”
Helda memutar tubuh dan memandangi ke sekitar tempat tak banyak penerangan di pinggiran kota itu. Tetap tak ditemukan apa pun. Kecuali kegelapan dan kesunyian malam yang diperkirakan sudah mencapai pukul nol-nol.
“OK. Aku akan pentas besok. Jangan ganggu ....”