“Pantas kalau kota ini disebut Kota Pelajar. Orangnya pintar-pintar. Sama seperti kamu, Ti.”
“Aaah …Tante Chaterin juga pintar. Kalau ndak pintar, tidak kuliah di UGM-lah,” Ngesti tersipu. “Pasti kamu pun sama seperti mamamu….”
Henny tertawa-tawa terus tiap kali Ngesti Retno menceritakan kebiasaan Mama sewaktu di Jogja dulu. Semua itu diceritakan Ngesti yang didapatkan dari ibunya, Bu Kunto.
“Mamamu itu bahasa Inggrisnya OK, lho.”
“Mmm …”
“Sampai-sampai Tante Chris pernah menjadi guide tamu kami. Ya, berdua Ibu menemani turis ke Kaliurang dan kaki Merapi sana.”
Yang itu belum pernah diceritakan. Ah, Mama memang hebat, pikir Henny. Tak percuma Opa berkeras menyekolahkan Mama ke sampai ke Jogja.
“Mana yang lesehan gudeg yang terkenal itu, Ti?” tanya Henny setelah celingak-celinguk berjalan bersama Ngesti dari ujung utara dekat Stasiun Keretaapi Tugu.
“Itu adanya malam, Hen.”
“Kalau begitu, nanti malem kita ke sini.”
“Boleh. Nanti biar ditemani ibuku juga. Ya, sama mamamu, tentu.”