Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teman Baru dari Jogja

18 Desember 2016   05:51 Diperbarui: 18 Desember 2016   08:33 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:copy.djogja.com

Cerita Minggu Pagi 17:

Henny bangun kesiangan. Itu pun setelah berulangkali burung di dekat kamar bernyanyi dengan suara merdu. Burung perkutut yang jarang ditemukan dan dipelihara di Manado, Sulawesi Utara itu membangunkannya.

            Hari belum siang benar. Matahari masih belum menyengat. Sinarnya masih kekuningan jatuh di halaman tengah rumah banyak kamar itu.  

            “Seperti bukan sedang menginap di hotel saja, ya Ma?” kata gadis berkulit putih itu.

Saat itu Mama masuk ke kamar. Ia sudah rapi.  Ia akan mengikuti acara seminar di Aula UGM.   

            “Ya, memang ini bukan hotel. Ini homestay dari keluarga Pak Kunto yang Mama kenal waktu kuliah di Jogja sini,” sahut sang Mama yang selalu berkacamata itu.

            Henny mangut-manggut. Mengertilah kenapa Mama tidak memilih hotel di pusat kota sekitar Malioboro sana. Namun ia tidak menyesal sekarang. Karena rumah keluarga Pak Kunto yang disewakan kepada turis itu enak. Nyaman. Kali ini ada turis dari Inggris dan Australia yang menginap.

Ruang tengah ada taman rindang. Beberapa pepohonan seperti cempaka, melati dan mawar dirawat apik. Juga soka merah yang dihinggapi kupu-kupu hitam legam dan ada sedikit merah di bagian atas sayapnya.

            Pagi itu Henny sarapan pagi nasi liwet dengan lauknya telor panggang yang kecokelatan. Ada peyek kacang dan kerupuk gendar di blek kecil. Ia menyelesaikan makanan yang agak manis itu dengan pelan. Matanya masih mengamati sekeliling ruang makan keluarga yang dijadikan tempat penginapan cara rumahan. Juga ia melihat lemari, kaca di dinding dan potret keluarga dengan pakaian adat Jawa.

            “Mau tambah, Mbak Henny?” sapa seorang gadis berambut kucir kuda. Ia membawa teh poci dan cangkir mungil berukir bunga ungu.

            “Eh …mmm, tidak,” jawab Henny. “Kok tahu nama saya, Mbak?”

            Gadis itu tersenyum.

            “Kan Tante Catherin yang menyebutkan. Ah, kenalan dulu. Saya Ngesti.”

            Keduanya bersalaman. Bahkan kemudian Ngesti minta ijin duduk di situ. Henny mana bisa menolak pada gadis cantik berhidung bangir itu. Apalagi kemudian menemaninya, meski menolak diajak makan bareng.    

            “Nanti kita kalau Tante eh, mamamu ke seminar di Bulaksumur UGM, kita main-main ke Malioboro. “

            “Siiip!” jentik Henny. “Itu yang kutunggu-tunggu. Kalau di sini sendirian, kan tidak enak. Bosan. Dari sini tidak jauh, ya?”

            “Nggak. Kita naik becak saja.”

            Siapa sangka Henny dapat teman seenak Ngesti. Selain cantik, pintar. Bahasanya halus dan tertata.

            “Kalau aku ya beginilah, Ti. Banyak omong hahaha.”

            Ngesti tertawa.

            “Kalau yang lebih halus lagi, ya mereka yang ada di Keraton. Kita nanti ke sana.”

            Lagi-lagi Henny menyambut senang. Ia tak perlu susah-susah untuk mencari pemandu selama ia di Jogja. Semula ia merasa keberatan diajak Mama. Apalagi kalau Mama harus sibuk acara seminar di Kota Pelajar itu. Jika ia bersedia ikut, karena di Manado sana sendirian. Kedua kakaknya selau punya acara masing-masing. Sedangkan ia liburan tak punya acara yang bisa membuatnya bergembira. Apalagi mendapatkan acara seru dan baru.

            “Pantas kalau kota ini disebut Kota Pelajar. Orangnya pintar-pintar. Sama seperti kamu, Ti.”

            “Aaah …Tante Chaterin juga pintar. Kalau ndak pintar, tidak kuliah di UGM-lah,” Ngesti tersipu. “Pasti kamu pun sama seperti mamamu….”

            Henny tertawa-tawa terus tiap kali Ngesti Retno menceritakan kebiasaan Mama sewaktu di Jogja dulu. Semua itu diceritakan Ngesti yang didapatkan dari ibunya, Bu Kunto.

            “Mamamu itu bahasa Inggrisnya OK, lho.”

            “Mmm …”

            “Sampai-sampai Tante Chris pernah menjadi guide tamu kami. Ya, berdua Ibu menemani turis ke Kaliurang dan kaki Merapi sana.”

            Yang itu belum pernah diceritakan. Ah, Mama memang hebat, pikir Henny. Tak percuma Opa berkeras menyekolahkan Mama ke sampai ke Jogja.

            “Mana yang lesehan gudeg yang terkenal itu, Ti?” tanya Henny setelah celingak-celinguk berjalan bersama Ngesti dari ujung utara dekat Stasiun Keretaapi Tugu.

            “Itu adanya malam, Hen.”

            “Kalau begitu, nanti malem kita ke sini.”

            “Boleh. Nanti biar ditemani ibuku juga. Ya, sama mamamu, tentu.”

            “OK, sip. Sekarang lebih baik kita ke Keraton saja.”

            Mereka sengaja tidak naik becak. Terus berjalan ke arah selatan, melewati Pasar Beringharjo, Benteng peninggalan Belanda, dan Kantor Pos. Tak lama kemudian mereka tiba di alun-alun, dan bisa melihat Keraton dari kejauhan.

            “Aku kok betah di sini, ya?” kata Henny setelah melihat-lihat keraton dan duduk minum air putih.

            “Kamu sekolah di sini saja, Hen.”

            “Kalau kuliah ‘kali.”

“Bagus.”

“Aku pengin kuliah di ISI saja.”

“Ada alasannya, kan?”

“Ya, karena kakakku sudah ambil jurusan kedokteran. Pengin seperti papa. Yang kedua, bentar lagi lulus dan maunya kayak mama. Dan aku kan sekarang saja suka corat-caret …!”

Ngesti senang. Ia tidak menyangka gadis secantik Henny lebih suka seni rupa. Dan ia pun menemani teman barunya itu untuk membeli kertas atau buku gambar dan pensil. Karena Henny tiba-tiba ingin men-sket keraton.

“Benar-benar berbakat,” desis Ngesti dari arah belakang Henny yang asyik mencorat-caret dengan pensilnya.

Ternyata tidak hanya Ngesti yang mengagumi kepandaian Henny. Karena beberapa orang mengerubuti gadis berkulit putih dengan duduk beralaskan koran itu. Henny sendiri tampak tak terganggu. Terus mencorat-caret kertas dan sesekali mengamati keraton yang tampak indah dan nyaman pada siang itu.

Amazing…!” sebuah seruan meluncur.

Henny menoleh. Dan ia tersenyum ke arah wanita berkulit putih dan berambut kecokelatan. Ia berkacamata dan bertopi lebar.

“Thank you ….”

Turis itu pun mengacungkan jempol.

“Are you artist?”

“No. Just … iseng.”

What iseng.”

“Mmm … not serious. Im student, Mom.”

Wanita bule itu menganguk-angguk dan menyalami Henny.

“Maybe better if you …yeah, study … art, painting.”

Henny melongo lucu. Juga ketika berpandangan dengan Ngesti.

“She want study in ISI,” kata Ngesti sebisanya.

Mereka pun tertawa.

Turis itu meminta Henny dan Ngesti berpose. Untuk diambil gambarnya.

“Bahasa Inggrisnya nuruni Tante.”

“Memang bahasa Inggrismu jelek, Ti?”

Keduanya berangkulan. Sambil tersenyum ke arah turis yang kemudian mengancungkan jempolnya lagi.

“Thank you ….”

“You are welcome…!” sahut Henny dan Ngesti serempak.

Henny dan Ngesti saling pandang. Lalu keduanya tertawa.

***

Ditulis ulang, 18/12 16 pagi di Angkasapuri    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun