“OK, sip. Sekarang lebih baik kita ke Keraton saja.”
Mereka sengaja tidak naik becak. Terus berjalan ke arah selatan, melewati Pasar Beringharjo, Benteng peninggalan Belanda, dan Kantor Pos. Tak lama kemudian mereka tiba di alun-alun, dan bisa melihat Keraton dari kejauhan.
“Aku kok betah di sini, ya?” kata Henny setelah melihat-lihat keraton dan duduk minum air putih.
“Kamu sekolah di sini saja, Hen.”
“Kalau kuliah ‘kali.”
“Bagus.”
“Aku pengin kuliah di ISI saja.”
“Ada alasannya, kan?”
“Ya, karena kakakku sudah ambil jurusan kedokteran. Pengin seperti papa. Yang kedua, bentar lagi lulus dan maunya kayak mama. Dan aku kan sekarang saja suka corat-caret …!”
Ngesti senang. Ia tidak menyangka gadis secantik Henny lebih suka seni rupa. Dan ia pun menemani teman barunya itu untuk membeli kertas atau buku gambar dan pensil. Karena Henny tiba-tiba ingin men-sket keraton.
“Benar-benar berbakat,” desis Ngesti dari arah belakang Henny yang asyik mencorat-caret dengan pensilnya.