“Habiskan dulu bir itu agar bibirmu lebih basah.”
Hik, hik! Ringkik Cindy.
***
Alkisah, kami masuk ke kamar jembar, wangi dan penerangan dibuat remang-remang oleh Cindy. Ia masih entah siapa, kecuali wanita yang masuk ke café elite di bilangan elite di kawasan selatan itu pada malam ini. Dan kini terlentang setelah melemparkan sepasang sepatu hitamnya. Sehingga dari ujung kaki hingga perbatasan ujung rok hitamnya menggambarkan sepasang kaki jenjang mulus. Terlebih di area ujung rok hitam ketatnya menyerupai garis pembatas yang jelas.
Itu setelah Cindy menyerobot bibirku.
Aku duduk melihat pemandangan tubuh tergolek itu, dengan dada masih datar-datar saja. Mestinya, ah kenapa mestinya: aku membalas ciuman Cindy ketika pintu hotel dibuka tadi. Tak membiarkannya seperti gelisah. Buktinya, ia membuat gerakan-gerakan seorang wanita cukup umur di atas tempat tidur.
“Cindy pengin tidur? Tidurlah ….”
“Ih!” sergahnya. “Mas Te Es ini …eh, tapi mau. Sini, dong.”
Aku bergumam. Sehingga Cindy datang melenggok ke arahku dengan gerakannya yang mengingatkan pada backing vocal dalam konser-konser Pink Floyd yang kulihat di video-videonya. Wanita bertubuh sexy dengan pakaian hitam ketat dan punggung terbuka. Siap diterkam.
Ia duduk di atas sepasang kakiku. Di pahaku, persisnya.
“Mau ciuman bibir yang sudah basah bir?”