Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lagi Galau

11 September 2016   07:05 Diperbarui: 11 September 2016   09:14 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. cover Pink Floyd

Cerita Minggu Pagi:

The Dark Side of the Moon

Kadang, perlu untuk lari menjauh meski sesungguhnya mendekat kegalauan itu. Seperti menghempaskan tubuh, memejamkan mata dan fly dengan lagu di sebuah café. Suasana tak begitu ramai dengan ruang remang dan didekati gadis semampai pundak terbuka kaus ketat hitam.

“Boleh duduk di sebelah, Mas?”

Aku menelengkan kepala sebentar, dan menggeser pantat di sofa empuk yang dindingnya tertempel Bob Marley, The Beatles, Si Bibir Ndower Jagger hingga Elvis Presley.

Pertanyaan selanjutnya di awal-awal seperti itu, standar dan klasik. Ini sebuah pertemuan entah apa bentuknya seorang lelaki dan seorang wanita cantik yang kemudian menyebutkan dirinya Cindy, entah benar entah tak.

“Cindy cuma mau menemani Mas Te Es, kalau boleh…..”

Aku tertawa.

“Kenapa tertawa?”

“Bukannya sudah menemani sejak sebelum segelas bir melewati tenggorokkan Cindy?”

Ih! Ringkiknya sambil mencubit pahaku. Kemudian ditopangkannya paha mulus putih ke pahaku. Aku bisa kemudian beraksi menepuk paha itu, dan kemudian menjalar atau setidaknya menepuk-nepuknya. Berkali-kali sampai telapak tangan ini menemukan jati dirinya.

“Kalau begitu, boleh Cindy nambah?”

“Kenapa tak satu pickcher saja sekalian untuk kita teguk bersama hingga kita sedikit mumet ….”

Mumet?”

“Ya. Dan kita ….”

“Jalan menyeberang ke Hotel Oranye….”

Dan Pink Floyd lewat tenggorokkan Roger Water meneruskan The Wall-nya. Kemudain The Dark Side of the Moon, yang kian ngalangut. Cindy sudah lebih leluasa menggoyang-goyangkan betisnya. Sesekali, menyentakkan kepalanya ke dada yang tetap datar-datar saja.

“Mas Te Es ini kelewat cool ….”

Aku bergumam.

“Atau kita hangatkan segera ….”

Aku mengernyitkan kening.

“Kita Hotel Oranye ….”

“Habiskan dulu bir itu agar bibirmu lebih basah.”

Hik, hik! Ringkik Cindy.

***

Alkisah, kami masuk ke kamar jembar, wangi dan penerangan dibuat remang-remang oleh Cindy. Ia masih entah siapa, kecuali wanita yang masuk ke café elite di bilangan elite di kawasan selatan itu pada malam ini. Dan kini terlentang setelah melemparkan sepasang sepatu hitamnya. Sehingga dari ujung kaki hingga perbatasan ujung rok hitamnya menggambarkan sepasang kaki jenjang mulus. Terlebih di area ujung rok hitam ketatnya menyerupai garis pembatas yang jelas.

Itu setelah Cindy menyerobot bibirku.

Aku duduk melihat pemandangan tubuh tergolek itu, dengan dada masih datar-datar saja. Mestinya, ah kenapa mestinya: aku membalas ciuman Cindy ketika pintu hotel dibuka tadi. Tak membiarkannya seperti gelisah. Buktinya, ia membuat gerakan-gerakan seorang wanita cukup umur di atas tempat tidur.

“Cindy pengin tidur? Tidurlah ….”

“Ih!” sergahnya. “Mas Te Es ini …eh, tapi mau. Sini, dong.”

Aku bergumam. Sehingga Cindy datang melenggok ke arahku dengan gerakannya yang mengingatkan pada backing vocal dalam konser-konser Pink Floyd yang kulihat di video-videonya. Wanita bertubuh sexy dengan pakaian hitam ketat dan punggung terbuka. Siap diterkam.

Ia duduk di atas sepasang kakiku. Di pahaku, persisnya.

“Mau ciuman bibir yang sudah basah bir?”

Aku hanya mengangkat wajah, dan senyum. Dan belum tahu siapa sebenarnya wanita muda cantik ini. Namun apa penting? Aku sedang galau dengan diriiku, dan kota yang ingar-bingar. Kota industry dan malam-malamnya tak menyembulkan rembulan seperti kalau di kota kelahiranku. Di mana bulan bisa bulat, apalagi kalau dilihat dari pantai.

“Ini!” katanya tak menunggu jawabanku. Ia mencoba melumat bibirku. “Ih, dingin amat, sih?”

Aku tertawa.

“Kan habis minum bir dingin.”

“Ya, ndaklah.”

“Kok ndak? Bukan nggak.”

“Kan aku nJowo.”

Aku tertawa.

“Jadi, kamu Jawanya mana?”

Ia menyebut sebuah kota kecil berpantai tidak indah. Meski di pantai itu, aku sangat hafal. Bahkan berapa pohon cemara yang berjajar, aku tahu jumlahnya. Di mana di ujungnya yang sebelah timur kugurati namaku dan nama Tika. Tujuh tahun lalu.

Aku mengamati Cindy yang sudah rebahan di sisiku, dengan aku rebahan di sampingnya di tempat tidur wangi dan rapi. Menatap langit-langit yang dibuat seperti langit, dan lagi-lagi membuatku teringat Pink Floyd yang lagunya begitu nglangut. Mungkin dalam lagu-lagu The Wall. Mungkin The Dark Side of the Moon.

“Mestinya, aku tidak menyerobot bibir Mas Te Es.”

“Oya? Kau menyesal?”

Desahannya menguat.

“Ndak. Aku merasa berdosa sama Tika.”

“Tapi kau ndak bisa mengembalikannya, kan?”

Cindy, eh Nina mengangguk-anggukkan kepala.  

“Kalau begitu, aku yang mengembalikannya.” Dan ia kucium. Kini aku menghangati bibirnya. Yang bir dinginnya sudah berlalu setelah kami saling berkisah. Sebagai orang tersesat di kota besar.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun