Mohon tunggu...
Teti Taryani
Teti Taryani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis. Author novel: Rembulan Merindu, Gerai Kasih, Dalam Bingkai Pusaran Cinta. Kumcer: Amplop buat Ibu, Meramu Cinta, Ilalang di Padang Tandus. Penelitian: Praktik Kerja Industri dalam Pendidikan Sistem Ganda. Kumpulan fikmin Sunda: Batok Bulu Eusi Madu, Kicimpring Bengras.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terkapar dalam Badai Aksara

12 Februari 2023   07:36 Diperbarui: 12 Februari 2023   07:42 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari https://www.canstockphoto.com/land-to-the-ground-dry-cracked-with-54453828.html

"Wah, kebetulan ada Teni di sini. Boleh minta waktunya sebentar?"

Kujawab dengan senyum dan anggukan.

"Ini, aku mau menerbitkan buku kumpulan puisi. Tolong dong, bikinkan pengantarnya. Biar pas, gitu!"

Mbak Rika terlihat begitu antusias.

"Wah, bagaimana bisa bikin pengantar, isi bukunya juga saya enggak tahu," jawabku. Aku berharap Mbak Rika mengerti kalau aku menolak dengan halus.

"Ya... pengantar yang umum aja gitu! Pokoknya sedikit promo yang keren tentang puisi-puisiku," lanjutnya semakin antusias.

"Iya, tapi setidaknya aku harus tahu sebagian puisi unggulannya," jawabku sambil ketar-ketir.

"Oh, gitu, ya! Ini nih, puisiku Duka di Danau Kelimutu, Bisik Gerimis, Serpihan Mutiara, dan apa lagi ya...? Oh, ya, Senarai Pilu di Ujung Senja yang jadi puisi unggulanku. Kukirimkan filenya, ya? Tapi jangan kasih lihat siapa-siapa. 'Kan baru mau terbit."

Jemarinya lincah memilih puisi yang akan dikirimkan padaku. Bunyi gawai mengingatkanku tentang puisi-puisinya yang sudah masuk ke dalam gawaiku.

"Makasih, ya. Kutunggu besok pengantarnya."

Tanpa menunggu jawabanku, Mbak Rika berlalu dari hadapanku. Dia belum mendengar kesanggupanku. Dia juga tak bertanya apakah aku bisa memenuhi permintaannya ataukah tidak. Namun, kepergiannya adalah terjemahan bebas dari kata 'kudu bisa dan kudu selesai sesuai permintaanku'.

Aku menarik napas panjang. Kutekuni lagi laptopku. Tentu dengan konsentrasi yang sedikit berkurang.

Belum lewat lima menit bahkan belum kuketik kalimat yang akan kutuangkan dalam layar laptop, tetiba suara jerit bahagia seorang wanita menabrak pendengaranku. Kupikir dia mendapat undian berhadiah yang tak disangka-sangka.

"Aiih... kamu di sini rupanya, Ten! Dicari-cari di ruang kumpul, ternyata mojok di ruang baca. Perpustakaan sepi, ya? Kok betah, sih? Apa enggak horor?" tanya Nesti dengan mata membulat.

"Ya, enggaklah! Kadang-kadang aku butuh sepi untuk mengerjakan tugasku," jawabku jujur.

"Wah, sampe segitunya! Jangan-jangan kedatanganku ngeganggu konsentrasi, nih!" lanjutnya.

Aku tersenyum sambil menghentikan gerak jemariku yang tengah asyik bercengkrama dengan huruf-huruf di keyboard laptop. Kupaksa menulis beberapa kata kunci agar nanti bisa kulanjutkan jika suasana memungkinkan. Kujeda sambil mengingat-ingat ide yang tadi hendak kutumpahkan pada rangkaian kata dan kalimat. Kupandangi Nesti yang tengah membuka lembar-lembar kertas dalam map hijau yang dibawanya.

"Ini, nih, aku sedang penelitian tentang penerapan administrasi di lapas. Bantuin dong bikin kuesionernya, Ten," pintanya sambil menyerahkan dua tiga lembar kertas berisi kalimat-kalimat yang berisi gambar tabel.

Kutautkan sebentar kelopak mataku. Kupejam mata sambil kelopaknya kutekan dalam-dalam. Hanya bicara dengan hati sendiri. Duh, apalagi ini, ya?

"Bagaimana bisa bikin kuesioner kalau aku enggak tahu administrasi macam mana yang dipakai di lapas itu. Benar-benar enggak kegambar dalam kepalaku itu mah, Nes."

Kutolak langsung permintaan yang tak masuk akal itu. Maksudku, bukankah dia yang melakukan penelitian, tentu dia juga yang tahu hal-hal apa yang harus disampaikan dalam kuesionernya. Aku 'kan sama sekali buta tentang lapas.

Semua jawaban itu hanya berseliweran dalam hatiku. Tak berani kuungkap isi pikiranku yang sebenarnya. Aku takut dia tersinggung.

"Tapi kamu 'kan pinter nulis, Ten. Pasti tahu deh, gimana baiknya bikin kalimat yang disampaikan agar bisa mengungkap penggunaan administrasi di lapas."

Nesti masih maksa dengan keinginannya. Adduuh... apa dia tidak tahu ya, kalau memaksakan kehendak itu termasuk perbuatan tidak menyenangkan? Hhh....

"Tapi yang kutulis itu 'kan sesuatu yang kupahami betul. Bukan dikira-kira. Kalau aku bikin cerpen tentang perilaku orang di caf, aku berangkat observasi ke sana. Beli makanan sambil nongkrong dan mengamati sikon di tempat itu. Makan pun pelan-pelan agar tahu kebiasaan orang yang berkunjung ke sana. Bukan asal tulis!"

Kujawab dengan panjang lebar agar dia paham dengan kemampuanku yang terbatas.

"Gini ajalah, kamu coba dulu bikin kuesioner, terus kasihkan ke aku. Kalau pas dan oke, akan aku pakai. Kalau enggak, biar kuperbaiki sendiri. Udah, gitu aja. Tolong, ya! Makasih, Sahabat tercinta!"

Seperti Mbak Rika, Nesti pun pergi tanpa menunggu jawabanku. Sepertinya mereka yakin, aku bakal mampu mengerjakan tugas yang dibebankan pada pundakku.

Meskipun demikian, aku tetap bersyukur karena keduanya tak berlama-lama berbincang denganku. Kepergian mereka berarti keharusan bagiku untuk memenuhi permintaannya. Kutepis rasa tak nyaman yang mengganggu perasaanku. Dalam situasi aku butuh waktu untuk menuntaskan tugasku, justru mereka datang dengan paksaan maut tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk menolak.

Andaipun menolak, mereka tak pernah percaya kalau aku tidak bisa mengerjakannya. Mereka hanya tahu, kalau aku selalu siap membantu. Sayangnya mereka tak pernah tahu, kalau aku mengerjakannya sambil pontang-panting hingga langkahku terseok-seok.

Kupusatkan lagi perhatian pada laptop. Kusegerakan tugasku agar cepat selesai.

"Assalamualaikum."

Kudengar seseorang mengucap salam. Kupastikan dia langsung masuk ke perpustakaan. Kujawab salamnya dalam hati. Biarlah, yang penting petugas perpustakaan sudah menjawab salamnya dengan suara nyaring.

"Teh, ada Bu Teni?" tanyanya pada Teh Santi, petugas perpustakaan.

"Ada, Bu. Itu di pojok baca," jawabnya.

Aku tak mengalihkan pandang dari laptop. Kalimat yang kutulis ini membutuhkan sinergitas penuh antara jemari dan pikiran. Kubiarkan Gina berjalan menuju ke tempatku.

"Lagi sibuk, nih?" tanyanya sambil menarik kurisi dan mendekatkannya pada tempat dudukku.

"Iya. Dikejar deadline," bisikku dengan mata lurus ke layar laptop.

"Oh, tugas penelitian, ya? Wah, gimana, dong. Aku mau minta tolong, nih!" bisiknya sambil mendekatkan mukanya ke arahku.

"Emang ada apa?" tanyaku dengan segaris senyum tipis.

Jangan-jangan ini cobaan berikutnya, bisik hatiku.

"Anakku si sulung mau dilamar. Suamiku pengen menyampaikan sambutan silaturahmi. Jadi tolong bikinkan, ya? Katanya, buat pedoman saat lamaran. Gak usah panjang-panjang. Yang penting bagus buat menyambut keluarga laki-laki. 'Kita kan hanya pertemuan dua keluarga."

"Kalau 'hanya', ya... bisa dibikin sendiri, dong! Cuma menyambut tamu aja kok. Itu mah biasa dilakukan semua orang," jawabku sedikit tak acuh.

"Please, deh, Ten. Aku minta tolong banget buat hari Jumat," ucapnya sedikit memelas.

"Jumat? Sekarang Rabu. Berarti harus segera, dong!"

Kumiringkan badanku seraya memandang wajah Gina yang masih bergaya memelas.

Ya Allah, Gustiii...! Bisik hatiku dengan perasaan yang mulai tertekan.

"Ya, deh, kuusahakan. Sekarang biarkan aku ngerjakan ini dulu, ya?"

"Makasih ya, Ten! Kamu emang sahabat terbaik!"

Digenggamnya tanganku yang masih kusimpan di atas keyboard laptop. Tampak deretan huruf tak menentu mengisi layar laptop karena genggamannya.

Setelah Gina pergi, kukemas barang-barangku. Kumasukkan ke dalam tas. Percuma, sembunyi di pojok baca juga tetap tak bisa bekerja. Lebih baik aku pulang saja. Mudah-mudahan bisa kukerjakan di rumah.

Kudapati anakku tengah berselimut di kamarnya. Mukanya kemerah-merahan. Kuraba dahinya. Panas.

"Ma, besok Muti harus ngumpulin tugas artikel. Tapi badan rasanya panas dingin. Bantu bikinin ya, Ma. Soalnya itu tugas kelompok. Kalau besok enggak ngumpulin, habis deh Muti dibantai temen-temen. Jangan lupa, temanya membangun remaja berkarakter." Suaranya serak dan bergetar.

Segera kuambil obat kompres dan kuberi minum penurun panas. Kupandangi putri semata wayangku. Mataku mulai berkunang-kunang. Bayangan kata pengantar, kuesioner, sambutan penerima tamu, hingga artikel berseliweran mengelilingi kepalaku. Ditambah dengan penelitianku sendiri yang terbentur waktu.

Badanku bergetar diterjang ribuan huruf yang berseliweran. Belum lagi ragam kalimat dan tanda baca berebut memasuki kepala melalui lorong mataku. Beban di kepala begitu berat. Huruf dan kata menggumpal menimpa ubun-ubun.

"Makasih ya, Ten, kamu emang sahabat terbaik!"

Aku limbung diterpa badai aksara yang menyesakkan dada. Terkapar di hamparan huruf dan kata.

*Bahan calon kumcer terbaru Mengurai Senja

Tasikmalaya, 12-2-2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun