Semua jawaban itu hanya berseliweran dalam hatiku. Tak berani kuungkap isi pikiranku yang sebenarnya. Aku takut dia tersinggung.
"Tapi kamu 'kan pinter nulis, Ten. Pasti tahu deh, gimana baiknya bikin kalimat yang disampaikan agar bisa mengungkap penggunaan administrasi di lapas."
Nesti masih maksa dengan keinginannya. Adduuh... apa dia tidak tahu ya, kalau memaksakan kehendak itu termasuk perbuatan tidak menyenangkan? Hhh....
"Tapi yang kutulis itu 'kan sesuatu yang kupahami betul. Bukan dikira-kira. Kalau aku bikin cerpen tentang perilaku orang di caf, aku berangkat observasi ke sana. Beli makanan sambil nongkrong dan mengamati sikon di tempat itu. Makan pun pelan-pelan agar tahu kebiasaan orang yang berkunjung ke sana. Bukan asal tulis!"
Kujawab dengan panjang lebar agar dia paham dengan kemampuanku yang terbatas.
"Gini ajalah, kamu coba dulu bikin kuesioner, terus kasihkan ke aku. Kalau pas dan oke, akan aku pakai. Kalau enggak, biar kuperbaiki sendiri. Udah, gitu aja. Tolong, ya! Makasih, Sahabat tercinta!"
Seperti Mbak Rika, Nesti pun pergi tanpa menunggu jawabanku. Sepertinya mereka yakin, aku bakal mampu mengerjakan tugas yang dibebankan pada pundakku.
Meskipun demikian, aku tetap bersyukur karena keduanya tak berlama-lama berbincang denganku. Kepergian mereka berarti keharusan bagiku untuk memenuhi permintaannya. Kutepis rasa tak nyaman yang mengganggu perasaanku. Dalam situasi aku butuh waktu untuk menuntaskan tugasku, justru mereka datang dengan paksaan maut tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk menolak.
Andaipun menolak, mereka tak pernah percaya kalau aku tidak bisa mengerjakannya. Mereka hanya tahu, kalau aku selalu siap membantu. Sayangnya mereka tak pernah tahu, kalau aku mengerjakannya sambil pontang-panting hingga langkahku terseok-seok.
Kupusatkan lagi perhatian pada laptop. Kusegerakan tugasku agar cepat selesai.
"Assalamualaikum."