Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Mengapa Engkau Meninggalkan Aku?", Apologetika Kasih Atas Pengadilan yang Kejam

10 April 2020   13:21 Diperbarui: 11 April 2020   01:03 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keluarga Ginting Serdang di Salib Kasih Tarutung (Dokumentasi Pribadi)

Kata apologetika berasal dari bahasa Yunani kuno apologia, yang secara umum berarti "pembelaan". Bentuk kata kerjanya yaitu apologoumai, memiliki arti "melakukan suatu pembelaan; berbicara untuk membantah", baik untuk merespon tuduhan maupun tuntutan dalam sidang pengadilan.

Penggunaan 'apologia' mengambil bentuk sastra pada tulisan Kristen mula-mula sebagai contoh integrasi orang Kristen berpendidikan ke dalam kehidupan budaya Kekaisaran Romawi, terutama selama "masa tenang sesaat" pada abad ke-3, dan partisipasi mereka pada gerakan intelektual Yunani yang dikenal luas sebagai Sofistik Kedua. 

Apologet Kristen pada Gereja mula-mula tidak menolak filsafat Yunani, tetapi berupaya untuk menunjukkan nilai positif Kekristenan dalam kaitan dinamis dengan tradisi rasionalis Yunani.

Sejumlah sarjana menganggap apologetika adalah suatu genre sastra tersendiri yang mempunyai keunikan gaya dan bentuk, isi, dan strategi argumentasi. Yang lain memandangnya sebagai suatu bentuk pengajaran dengan ciri khas nada dan guna.

Mengapa saya menggunakan gaya tulisan apologetika pada artikel yang akan memuat refleksi terkait peringatan wafat Isa Al Masih dalam nuansa keprihatinan terkait pandemi global Corona Virus Disease (Covid-19) pada tahun 2020 ini, karena bagaimanapun tidak mudah untuk menafsir sesuatu yang rohanis dalam situasi yang prihatin.

Bagaimanapun juga, hidup dalam dunia yang penuh dengan berbagai hal yang serba berkebalikan dan datang silih berganti, suka duka, senang susah, hidup mati, dan lain sebagainya, pasti akan menempatkan manusia dan sesamanya sering dalam situasi seperti pengadilan. Manusia dan sesamanya sering menghadapi tuduhan dan tuntutan, atau bahkan menjadi penuduh dan penuntut pada saat yang lain.

Berhubungan dengan pandangan itu, saya mengutip sebuah pandangan yang disampaikan oleh Pdt. DR. Rainer Scheunemann, dalam bukunya Panduan Lengkap Penafsiran Alkitab". 

Pendeta Rainer, merupakan seorang pendeta kelahiran Turen, Malang, pada 17 Januari 1966. Setelah menyelesaikan pendidikan SMU di Malang, ia meneruskan studi di German Theological Seminary di Giessen, Jerman, dan meraih gelar doktor Theologinya di Evangelical Theological Seminary di Leuven, Belgia. 

Ia mendirikan Sekolah Alkitab Malam GKI di Papua (Program 1 tahun), bagi majelis dan warga jemaat di 14 kota di Tanah Papua untuk meningkatkan pemahaman iman Kristen dan kemampuan dalam pelayanan di tengah gereja dan masyarakat.

Katanya, ada dua tugas yang harus dimiliki oleh penafsir. Tugas pertama adalah mengetahui makna teks asli, yang disebut dengan eksegesis, dan kemudian menerjemahkannya ke dalam konteks masa kini, atau disebut Hermenetika.

Eksegesis mempelajari Alkitab secara sistematis dan teliti untuk menemukan arti asli yang dimaksudkan oleh teks. Pada tingkat tinggi, kita jelas memerlukan pengetahuan akan bahasa asli Alkitab (Ibrani, Aramik, dan Yunani). 

Oleh sebab itu, tidak mengherankan mengapa pada tulisan Kristen mula-mula mengambil bentuk sastra apologia, dan tidak menolak filsafat Yunani, karena menurut pendeta Rainer juga diperlukan pengetahuan tentang latar belakang Semitis, Yahudi dan Hellenistis (pandangan filsafat Yunani) dalam menentukan teks asli.

Namun, satu yang menggembirakan saya sebagai orang awam menurut pandangan pendeta ini, bahwa pekerjaan menafsir atau eksegesis dapat juga dilakukan dengan baik, di samping penguasaan atas konteks dan isi teks asli sebagaimana disebutkan di atas tidaklah selalu mutlak, apabila kita menggunakan akal sehat, membaca teks dengan teliti dan mengajukan pertanyaan yang tepat mengenai teks tersebut.

Oleh sebab itu, saya tidak akan berpanjang lagi membahas sesuatu yang bukan bidang keahlian saya. Satu hal yang mendasari saya menuliskan refleksi peringatan wafat Isa Al Masih yang dikenal juga dengan sebutan Jumat Agung ini dihubungkan dengan konteks masa kini, dalam bentuk apologetika adalah karena pengenalan saya terhadap bapak. Ya, bapak saya adalah seorang pendeta di Gereja Batak Karo Protestan.

Tentu saja sehubungan dengan isu paling aktual saat ini, terkait pandemi Covid-19, bapak tidak sedang memimpin ibadah dan perjamuan di gereja yang dihadiri oleh jemaat seperti biasanya sekalipun dia sudah pensiun. Dia di rumah saja, dan mungkin juga sedang tenggalam dalam keheningan dan refleksi pribadinya.

Berbicara tentang keheningan. Apakah yang lebih hening dalam hidup dibandingkan perasaan yang hancur dari orang yang merasa ditinggalkan? Yesus, sang Isa Al Masih, merasakan itu.

"Eli, Eli, lama sabakhtani?", Allah-ku, Allah-ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Yesus mengucapkan itu saat Ia tergantung di atas kayu salib setelah melewati pengadilan yang kejam dari manusia-manusia yang dikasihiNya. Kalimat itu sebagaimana tertulis pada Matius 27:46.

Bagi saya pribadi, kalimat yang diucapkan Yesus dari atas kayu salib itu sebenarnya adalah apa yang juga bapak saya dan saya, atau juga oleh banyak orang lain di seluruh dunia sedang ucapkan saat ini dalam kesesakannya. 

Tapi baiklah bapak, saya dan siapa saja yang berseru saat ini, "Bapaku, Bapaku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" tetap memegang harapan akan damai sejahtera. Sebab Yesus berkata saat Ia akan terangkat kembali ke sorga : "Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:20).

Itu adalah juga perenunganku saat di rumah saja pada Jumaat Agung tahun ini. Bagiku, pengorbanan Yesus di kayu salib setelah pengadilan yang kejam justru untuk menebus dosaku yang ikut menyalibkanNya adalah bentuk kasih terbesar.

Bahkan tidak perlu apologetika untuk menyatakan pembelaan atas hal itu. Karena telah terbukti, ketika dunia kehilangan semua keajaibannya, ketika kekuatan, teknologi, kecantikan dan uang tidak lagi berharga, dunia mungkin tidak tahu lagi jalan selain berpaling kembali kepadaNya. Dia yang disalibkan dengan sangat kejam itu. 

Bila kurenungkan dalam keheningan, tidakkah saat ini Dia sedang mengirimi kita pesan, bahwa di saat bumi, udara, tanah, air dan langit bergoncang dan tampaknya manusia tidak cukup kuat untuk bertahan, kita perlu mengetahui, bahwa Dia menyertai kita senantiasa sampai kepada akhir zaman.

Inikah risiko sebagai harga atas sebuah obsesi?

Manusia semakin cenderung ingin saling mengalahkan. Selain mengalahkan keadilan dengan uang, manusia juga berjuang memenangkan keadilan dengan ketenaran.

Relasi kuasa dalam hubungan antar susunan masyarakat didominasi oleh pengertian determinasi antar pihak. Semakin lama manusia semakin kehilangan keramahtamahan dan kehangatan. Kalaupun masih ada sering kali karena itu menjadi kewajiban. Bila tidak akan dikenakan sanksi atau hukuman.

Masih adakah denyutan kasih sayang tulus yang diwarisi generasi ke generasi, bapa ke anak dan ke anaknya lagi untuk seterusnya? Bukankah seharusnya untuk itulah kita dipanggil dalam hidup yang unik ini? Adakah sebenarnya hidup dengan modal sosial tanpa neraca?

Ada juga memang banyak postingan, cuitan dan komentar berbagai orang di media sosial saat ini, baik yang tampil dengan menampakkan kecemasan, tampil dalam satir untuk mengetuk kepekaan sosial, atau bahkan dalam bentuk sarkasme hujatan dan caci maki, untuk menimpali keadaan.

Terkadang ada juga terbersit dalam pikiran. Selain telah menuai banyak sekali manfaat dari perkembangan teknologi, tidakkah ini juga barangkali adalah petunjuk hampir tercapainya batas puncak toleransi dari efek buruk teknologi?

Teknologi kita yang berkembang dengan sangat pesat, dengan manfaat dan mudarat yang mengiringinya, turut menggiring kita ke perenungan bahwa semua ini bisa menjadi tidak berarti apa-apa, ketika obsesi kita mengandung risiko yang mungkin tidak akan mampu kita terima. Semua hal di muka bumi ada masanya dan juga ada batasnya. Kita, manusia, bukanlah sesuatu yang tidak tak terbatas.

Perkembangan teknologi yang massif tampak seperti akan membawa peradaban menuju batasnya dalam sisi negatif. Namun, menjadi paradoks, karena justru untuk mencegahnya agar tidak menjadi kenyataan, kita dihimbau justru cukup dengan membatasi diri.

Baca juga : https://www.kompasiana.com/teotarigan/5e7b214fd541df3f167e7442/arti-penting-menyepi-bagi-ibu-bumi

Ini mengingatkan bahwa sekalipun awalnya pembangunan teknologi diniatkan untuk memberi berbagai manfaat dan kemudahan bagi kehidupan manusia, tapi semua itu ada batasnya. Pertumbuhan, perkembangan, ada batasnya. Karena lebih dari itu mungkin adalah sebuah tragedi sebagai akhirnya.

Tanjung Badai adalah juga Tanjung Harapan

Dalam sebuah tayangan tentang asal-usul alam semesta di National Geographic, dijelaskan tentang keanekaragaman hayati di sebuah tempat bernama "Cape of Good Hope" atau "Tanjung Harapan" di ujung paling selatan dari Afrika selatan. Ada yang menarik, bahwa nama lain untuk Tanjung Harapan itu adalah "Tanjung Badai". Ya, di perairan di sekitar daerah itu memang sering kali terjadi badai.

Di sana dijelaskan juga sebuah fenomena menarik yang terjadi pada tumbuhan. Dia menyebutnya Miselium. Itu adalah cara pohon- pohon untuk saling mengurusi melalui serabut akar- akarnya yang saling terhubung di bawah permukaan tanah.

Jika ada pohon yang ditebang oleh manusia, maka pohon- pohon lain akan mengirim bantuan dalam bentuk gula dan nutrisi kimiawi lainnya, untuk membuat tonggak pohon yang ditebang bahkan mampu bertahan hidup hingga beberapa dekade ke depan. Kita tidak bisa melihat hal itu secara kasat mata, karena rasa sakit pohon berjalan dalam waktu yang lambat, katanya hanya 1 inchi/ menit.

Saya mencoba merefleksikan hal itu dengan kenyataan kehidupan manusia saat ini. Dalam kehidupan manusia di seluruh belahan dunia, yang tampak tidak pernah ada habis-habisnya dengan segala persoalan dan tuntutan kebutuhannya yang tetap harus dipenuhi, kapankah bumi bisa berhenti sejenak untuk beristirahat. 

Perlukah sinyal telepon seluler dihentikan serentak sementara agar laju hoaks, hujatan, sumpah serapah, caci maki dan lain sebagainya yang sangat bising dan riuh di media-media sosial bisa beristirahat juga?

Dalam semua hal ini yang tampak seperti badai kehidupan terutama di tengah wabah yang tidak jelas seorangpun bisa memastikan kapan akan berhentinya, ternyata masih saja tetap ada harapan.

Saya pribadi melihat baru kali ini dalam hampir semua hal, orang-orang baik semakin memiliki jiwa sosial untuk menggunakan apa saja yang mereka miliki untuk dapat membantu suatu masalah, di antara berbagai masalah besar berdampak global sepanjang yang saya ketahui.

Tanpa mau melebih-lebihkan, salah satu langkah penanganan pandemi Covid-19 yang dipandang paling efektif adalah melalui pengaturan jarak sosial dan jarak fisik (social and physical distancing). 

Hal ini sendiri menunjukkan sebuah anomali, karena ketika dibatasi justru disitu banyak orang- orang baik yang makin tergerak hatinya untuk semakin bersosial. Semakin dibatasi semakin tak terbatas, adalah anomali yang baik untuk hal-hal yang positif.

Dari sebuah refleksi atas Pengadilan dan Penyaliban Yesus, kita melihat bahwa atas tuduhan yang diajukan imam-imam kepala dan tua-tua terhadap Dia, Ia tidak memberi jawab apapun sebagai pembelaan diri. Orang-orang semua berseru di hadapan Pontius Pilatus, wali Romawi di Yerusalem: "Ia harus disalibkan!"

Katanya: "Tetapi kejahatan apakah yang telah dilakukan-Nya?" Namun mereka makin keras berteriak: "Ia harus disalibkan!" (Bandingkan Matius 27:11-14, 23-26).

Ketika Yesus dihukum mati di atas kayu salib di Bukit Golgota atau Kalvari, bersama dengan Dia disalibkan dua orang penyamun, seorang di sebelah kanan dan seorang di sebelah kiri-Nya. 

Orang-orang yang lewat di sana menghujat Dia dan sambil menggelengkan kepala, mereka berkata: "Hai Engkau yang mau merubuhkan Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari, selamatkanlah diri-Mu jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!"

Demikian juga imam-imam kepala bersama-sama ahli-ahli Taurat dan tua-tua mengolok-olokkan Dia dan mereka berkata: "Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan!" Bahkan penyamun-penyamun yang disalibkan bersama-sama dengan Dia mencela-Nya demikian juga. (Bandingkan Matius 27:35-44).

Yesus pun wafat di atas kayu salib, bukan karena Ia mati lemas atau kehabisan darah, tetapi Ia sendiri yang menyerahkan nyawa-Nya ke tangan Bapa-Nya. Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya.

Atas tulisan ini, bapak menambahkan sebuah refleksi dari perjalanan hidupnya sendiri yang sudah dia arungi sejauh ini. Saat kelahiran putra pertamanya, saya sendiri, mereka memberi nama Teopilus Suranta.

Dalam nama itu terkandung makna dan doa bapak dan mamak, sura-sura (harapan, dalam bahasa Karo) terbesar mereka adalah agar Tuhan (Teo) menjadi "Teman" (philos). Ada perasaan/penafsiran konteks hidup yang merasa seperti ditinggalkan sebagai latar belakang pemberian nama itu.

Barangkali perasaan seperti ditinggalkan itu ada hubungannya dengan masa-masa sulit saat awal-awal kehidupan keluarga kami. Itu jugalah yang melatarbelakangi mengapa tulisan ini sedikit terkesan dikemas dalam bungkus Teologis.

Manusia diciptakan dari debu tanah. Seluruh makhluk ciptaan saling tergantung untuk hidup, saling  memelihara dan menjaga, karena sepenanggungan. Itu adalah sudut pandang Teologi Ekologi.

Dalam Alkitab, dimuat juga tentang konsep Tahun Jobel, Tahun Pembebasan, Tahun Kasih. Bumi dan isinya memiliki keterbatasan, maka itu di Tahun Jobel, tanah diistirahatkan.

Tanah jangan diusahai dengan apapun, tanah kepemilikan yang tergadai harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan orang yang telah menjadi budak harus dibebaskan oleh tuannya.

Hukuman paling berat dari Tuhan adalah "ditinggalkan oleh Nya". Allah tidak peduli lagi, manusia dibuang ke neraka.

Ketika Tuhan memberi hukuman, sebenarnya karena Allah masih mengasihi.

Ketika Yesus mengucapkan "selesai" dari atas kayu salib, itu karena Yesus telah tuntas memenangkan "manusia" yang sebenarnya paling patut untuk ditinggalkan oleh Allah. Tapi Yesus rela menggantikan manusia menderita hukuman terberat karena dosa, ditinggalkan oleh Allah, tanpa apologetika, tanpa pembelaan, yang ada hanya kasih-Nya yang besar. Dia hanya berseru, "Allah-ku, Allah-ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?"

Oleh kasihNya manusia berdosa menjadi selamat, termasuk penjahat yang di sebelah kananNya, tapi tidak dengan yang di sebelah kiriNya. Dengan Yesus yang ditinggalkan Allah, kita tidak ditinggalkanNya lagi. Yesus adalah Allah sendiri, maka Ia tidak akan pernah ditinggalkan oleh Allah.

Sudah selesai. (Bandingkan Matius 27:50-54).

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun