Oleh sebab itu, tidak mengherankan mengapa pada tulisan Kristen mula-mula mengambil bentuk sastra apologia, dan tidak menolak filsafat Yunani, karena menurut pendeta Rainer juga diperlukan pengetahuan tentang latar belakang Semitis, Yahudi dan Hellenistis (pandangan filsafat Yunani) dalam menentukan teks asli.
Namun, satu yang menggembirakan saya sebagai orang awam menurut pandangan pendeta ini, bahwa pekerjaan menafsir atau eksegesis dapat juga dilakukan dengan baik, di samping penguasaan atas konteks dan isi teks asli sebagaimana disebutkan di atas tidaklah selalu mutlak, apabila kita menggunakan akal sehat, membaca teks dengan teliti dan mengajukan pertanyaan yang tepat mengenai teks tersebut.
Oleh sebab itu, saya tidak akan berpanjang lagi membahas sesuatu yang bukan bidang keahlian saya. Satu hal yang mendasari saya menuliskan refleksi peringatan wafat Isa Al Masih yang dikenal juga dengan sebutan Jumat Agung ini dihubungkan dengan konteks masa kini, dalam bentuk apologetika adalah karena pengenalan saya terhadap bapak. Ya, bapak saya adalah seorang pendeta di Gereja Batak Karo Protestan.
Tentu saja sehubungan dengan isu paling aktual saat ini, terkait pandemi Covid-19, bapak tidak sedang memimpin ibadah dan perjamuan di gereja yang dihadiri oleh jemaat seperti biasanya sekalipun dia sudah pensiun. Dia di rumah saja, dan mungkin juga sedang tenggalam dalam keheningan dan refleksi pribadinya.
Berbicara tentang keheningan. Apakah yang lebih hening dalam hidup dibandingkan perasaan yang hancur dari orang yang merasa ditinggalkan? Yesus, sang Isa Al Masih, merasakan itu.
"Eli, Eli, lama sabakhtani?", Allah-ku, Allah-ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Yesus mengucapkan itu saat Ia tergantung di atas kayu salib setelah melewati pengadilan yang kejam dari manusia-manusia yang dikasihiNya. Kalimat itu sebagaimana tertulis pada Matius 27:46.
Bagi saya pribadi, kalimat yang diucapkan Yesus dari atas kayu salib itu sebenarnya adalah apa yang juga bapak saya dan saya, atau juga oleh banyak orang lain di seluruh dunia sedang ucapkan saat ini dalam kesesakannya.Â
Tapi baiklah bapak, saya dan siapa saja yang berseru saat ini, "Bapaku, Bapaku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" tetap memegang harapan akan damai sejahtera. Sebab Yesus berkata saat Ia akan terangkat kembali ke sorga : "Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:20).
Itu adalah juga perenunganku saat di rumah saja pada Jumaat Agung tahun ini. Bagiku, pengorbanan Yesus di kayu salib setelah pengadilan yang kejam justru untuk menebus dosaku yang ikut menyalibkanNya adalah bentuk kasih terbesar.
Bahkan tidak perlu apologetika untuk menyatakan pembelaan atas hal itu. Karena telah terbukti, ketika dunia kehilangan semua keajaibannya, ketika kekuatan, teknologi, kecantikan dan uang tidak lagi berharga, dunia mungkin tidak tahu lagi jalan selain berpaling kembali kepadaNya. Dia yang disalibkan dengan sangat kejam itu.Â
Bila kurenungkan dalam keheningan, tidakkah saat ini Dia sedang mengirimi kita pesan, bahwa di saat bumi, udara, tanah, air dan langit bergoncang dan tampaknya manusia tidak cukup kuat untuk bertahan, kita perlu mengetahui, bahwa Dia menyertai kita senantiasa sampai kepada akhir zaman.