Kata apologetika berasal dari bahasa Yunani kuno apologia, yang secara umum berarti "pembelaan". Bentuk kata kerjanya yaitu apologoumai, memiliki arti "melakukan suatu pembelaan; berbicara untuk membantah", baik untuk merespon tuduhan maupun tuntutan dalam sidang pengadilan.
Penggunaan 'apologia' mengambil bentuk sastra pada tulisan Kristen mula-mula sebagai contoh integrasi orang Kristen berpendidikan ke dalam kehidupan budaya Kekaisaran Romawi, terutama selama "masa tenang sesaat" pada abad ke-3, dan partisipasi mereka pada gerakan intelektual Yunani yang dikenal luas sebagai Sofistik Kedua.Â
Apologet Kristen pada Gereja mula-mula tidak menolak filsafat Yunani, tetapi berupaya untuk menunjukkan nilai positif Kekristenan dalam kaitan dinamis dengan tradisi rasionalis Yunani.
Sejumlah sarjana menganggap apologetika adalah suatu genre sastra tersendiri yang mempunyai keunikan gaya dan bentuk, isi, dan strategi argumentasi. Yang lain memandangnya sebagai suatu bentuk pengajaran dengan ciri khas nada dan guna.
Mengapa saya menggunakan gaya tulisan apologetika pada artikel yang akan memuat refleksi terkait peringatan wafat Isa Al Masih dalam nuansa keprihatinan terkait pandemi global Corona Virus Disease (Covid-19) pada tahun 2020 ini, karena bagaimanapun tidak mudah untuk menafsir sesuatu yang rohanis dalam situasi yang prihatin.
Bagaimanapun juga, hidup dalam dunia yang penuh dengan berbagai hal yang serba berkebalikan dan datang silih berganti, suka duka, senang susah, hidup mati, dan lain sebagainya, pasti akan menempatkan manusia dan sesamanya sering dalam situasi seperti pengadilan. Manusia dan sesamanya sering menghadapi tuduhan dan tuntutan, atau bahkan menjadi penuduh dan penuntut pada saat yang lain.
Berhubungan dengan pandangan itu, saya mengutip sebuah pandangan yang disampaikan oleh Pdt. DR. Rainer Scheunemann, dalam bukunya Panduan Lengkap Penafsiran Alkitab".Â
Pendeta Rainer, merupakan seorang pendeta kelahiran Turen, Malang, pada 17 Januari 1966. Setelah menyelesaikan pendidikan SMU di Malang, ia meneruskan studi di German Theological Seminary di Giessen, Jerman, dan meraih gelar doktor Theologinya di Evangelical Theological Seminary di Leuven, Belgia.Â
Ia mendirikan Sekolah Alkitab Malam GKI di Papua (Program 1 tahun), bagi majelis dan warga jemaat di 14 kota di Tanah Papua untuk meningkatkan pemahaman iman Kristen dan kemampuan dalam pelayanan di tengah gereja dan masyarakat.
Katanya, ada dua tugas yang harus dimiliki oleh penafsir. Tugas pertama adalah mengetahui makna teks asli, yang disebut dengan eksegesis, dan kemudian menerjemahkannya ke dalam konteks masa kini, atau disebut Hermenetika.
Eksegesis mempelajari Alkitab secara sistematis dan teliti untuk menemukan arti asli yang dimaksudkan oleh teks. Pada tingkat tinggi, kita jelas memerlukan pengetahuan akan bahasa asli Alkitab (Ibrani, Aramik, dan Yunani).Â