Mohon tunggu...
Situt Saputro
Situt Saputro Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

@situt.04

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Salim Si Merah

25 Maret 2020   01:33 Diperbarui: 25 Maret 2020   01:33 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-

Senin, 30 Juli 1930. Pengadilan Tinggi Pemerintah Hindia Belanda, Kota Administrasi Semarang.

Salim yang memakai baju putih dilipat sebagian lengannya. Berjalan memasuki ruang pengadilan dengan gagah tanpa ada rasa takut sedikitpun. Menyapa kawan-kawan buruhnya yang sudah menunggu di luar dengan lambaian tangan dan senyuman, tak luput pula menyapa kawan-kawan media. 

Didampingi puluhan bahkan ratusan simpatisannya, Salim memberikan hormat kepada Sang Hakim sebagai tanda dia akan memulai pembelaan diri dan membuktikan kebenaran sesungguhnya, untuk keadilan yang begitu dia puja. 

Sebelum melakukan pidato pembelaan, Hakim memberikan aturan, sesuai dengan undang-undang bahwa pidato pembelaan di meja pengadilan diharuskan menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa wajib kerajaan. Namun apa yang dilakukan Samin sungguh bertolak belakang, dengan penuh wibawa dan keberanian Samin membuka pidatonya.

"Saudara-saudara, Yang mulia Hakim yang saya muliakan. Saya Salim lahir di desa Jetis di pedalaman Karisidenan Semarang. Lahir dari rahim orang Jawa, dan hidup besar dari asuhan tangan orang Jawa. Makan dan minum dari hasil bumi tanah Jawa. Sekalipun mati saya akan berkalang tanah memeluk bumi Jawa yang sangat saya cinta. Sepanjang hidupku aku tak pernah mengenal kebaikan dari Kerajaan Hindia Belanda, sedikit kebaikan saja aku tak pernah merasakannya. Sekarang saya dituntut berbahasa menggunakan bahasa bangsa yang telah merampas tanah-tanah di desa saya, merampas hak hidup saudara saya, merampas keadilan dengan mempelacurkan nilai kemanusiaan, aku tak pernah sudi Tuan Hakim yang Mulia" -- Salim mengawalinya dengan tepuk tangan meriah para buruh yang sedang membelanya dengan datang ke pengadilan.

"Tuan Hakim yang saya muliakan, engkau adalah manusia pilihan, manusia yang diciptakan untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sebagaimana mereka mengharapkan saya menyanyikan lagu Wihelmus -- lagu kebangsaan Kerajaan Belanda -- maka saya mohon maaf atas ketidak sediaan saya, karena saya berdiri disini bukan sebagai warga Hindia Belanda, melainkan murni sebagai rakyat Jawa, sebagai manusia utuh Indonesia. Maka Tuan Hakim yang mulia, izinkan saya mengawali pidato saya dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale" -- lanjut Salim disambut penghormatan berdiri dari sebagain besar orang-orang yang ada di pengadilan kecuali Hakim dan petugas kepolisian pemerintah Hindia Belanda.

"Hiduplah Indonesia Raya"

"Bangunlah kaum yang terhina, bangunlah kaum yang lapar, kehendak yang Mulia dalam dunia, senantiasa bertambah besar"

-

"Tuan Salim, sudahkah anda membela kehormatan bangsa seperempat manusia di meja yang agung ini ?" -- kata Hakim seraya disertai senyum sinis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun