Mohon tunggu...
Situt Saputro
Situt Saputro Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

@situt.04

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Salim Si Merah

25 Maret 2020   01:33 Diperbarui: 25 Maret 2020   01:33 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lenyapkan adat dan paham tua, kita rakyat sadar-sadar, dan Internasionale pasti di dunia......." -- teriakan nyanyian lagu internasionale dari ratusan buruh membuat jalanan kota Semarang mencekam dan bergemuruh.

"Hidup Buruh", "Hidup Rakyat", seakan menjadi pacuan semangat mengobarkan perlawanan. Tuntutan akan sebuah perubahan menggema membelah langit Semarang. 

Pekikan "Hidup Indonesia", "Merdeka", menegaskan bahwa inilah wujud perlawanan yang bukan hanya milik buruh semata, melainkan milik seluruh lapisan rakyat Indonesia -- yang pada saat itu masih tabuh menggunakan kata Indonesia, karena masih terlalu berbahaya -- menuntut, menyuarakan kemerdekaan.

Salim bersama ratusan buruh bergerak secara cepat, tanpa menunggu waktu lama, Salim bersama ratusan kawannya sudah berada di muka gerbang masuk Stasiun Poncol Semarang. 

Aksi yang sempat terhenti oleh pasukan kemanan stasiun ini mulai berlanjut lagi ketika ratusan buruh berhasil memukul mundur petugas keamanan, sekaligus merobohkan gerbang muka stasiun. Sebuah awal yang indah. 

Beberapa jam kemudian kantor-kantor perusahaan di dalam berhasil diduduki. Gerbong-gerbong berhasil dipaksa berhenti. Petugas keamanan dan calon penumpang berceceran. Kondisi stasiun lumpuh total. Kemenangan awal di tangan kaum pergerakan.

Di atas gerbong salah satu kereta yang sedang melakukan perjalanan dari Pasar Turi Surabaya menuju Pasar Senen Batavia, yang kebetulan melintas dan dipaksa berhenti oleh ratusan buruh yang sedang melakukan aksi massa. 

Salim berdiri di atasnya. Menggulung sebagian lengan bajunya -- selayak Semaoen Idolanya -- mengepalkan tangan kirinya, dengan urat-urat yang keluar ketika dia sedang berbicara. Sungguh ini Salim yang sudah berbeda ketika ia menjadi maling roti karyawan Belanda.

"Wahai putera-putera bumi pertiwi. Yang lahir dari kerasnya sejarah. Yang tumbuh dari perlawanan rakyat jelata. Buruh. Petani. Rakyat miskin kota. Semangat revolusi memanggil kita. Kemerdekaan menanti kita semua" -- suatu pembukaan yang dilakukan Salim, membuat kagum pendengarnya. Seruan riuhan tepuk tangan menyertainya.

"Marx pernah berkata, tidak akan pernah ada keadilan ketika penghisapan manusia atas manusia masih ada. Dan kita saudara-saudara, diutus berdiri di sini untuk mewujudkan sebuah keadilan, memukul rata kesewenang-wenangan, memperjuangkan nilai kemanusiaan, kesetaraan, persamaan hak, karena kita para buruh bukan lagi seperampat manusia. Kita adalah manusia utuh, manusia yang berhak atas kemerdekaannya" -- lanjut Samin.

"Saudara-saudara. Perlawanan kita tidak akan pernah berjalan sia-sia, teriakan-teriakan ini akan di dengar di penjuru Hindia Belanda. Akan di lihat oleh mata dunia. Bahwa kita para buruh. Kita rakyat Indonesia. Kita manusia sosialis akan merebut kemerdekaan diri kita, menciptakan kesetaraan kelas. Kemakmuran. Kesejahteraan. Hidup buruh. Hidup buruh. Hidup rakyat Indonesia" -- teriakan salim disertai dorongan ratusan buruh untuk menduduki lebih dalam kantor perusahaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun