Mohon tunggu...
tri prabowo
tri prabowo Mohon Tunggu... Karyawan -

Engineer PLC, lagi belajar nulis, Hobi Cersil, sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Serial: Andaru Wijaya [37]

21 Januari 2017   19:26 Diperbarui: 21 Januari 2017   19:43 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sementara itu Andaru Wijaya dan Ki Baruna sedang memuat gerabah kedalam gerobak pedati di pekarangan balai desa. Hasil kerajinan gerabah itu sedianya akan dijual kepada seorang pedagang dipasar Godean.

Pedati itu memuat banyak kerajinan gerabah, dengan ditarik seekor lembu tegar, sapi itu berangkat meninggalkan balai desa.

Ki Demang yang sedang berada di pendapa rumahnya tersenyum dan melambaikan tangannya. Andaru Wijaya yang mengemudikan pedati, juga Ki Baruna yang menyertainya membalas lambaian tangan Ki Demang.

Pedati itu bergerak lambat diantara jalan yang membelah persawahan di Kademangan Kembojan.

Hamparan sawah yang menghijau dan gemericik air diparit, membuat tenteram orang yang melihatnya.Batang-batang padi bergoyang ditiup semilir angin pagi, matahari pun masih nampak sebagian karena tertutup kabut pagi.

“Hmm..., segar sekali udara pagi ini Wijaya..!”kata Ki Baruna sambil memandang persawahan.

“Benar Ki Baruna..!”

“Sepertinya sebentar lagi akan panen, batang-batang padi itu pun beberapa rumpun telah mulai menguning,”ujar Wijaya sambil menunjuk pada rumpun padi yang dimaksud.

“Tanah Mataram adalah tanah yang subur, seharusnya rakyatnya hidup makmur. Tapi kendali penjajah atas tanah jawa sungguh menyengsaraka,”ujar Ki Baruna sambil menghela napas.

“Benar begitu Wijaya ?”tanya Ki Baruna.

Wijaya hanya tersenyum, sambil terus mengemudikan pedatinya.

“Belum lagi orang sepertiku yang telah banyak meresahkan masyarakat dengan ulahku !”

Wijaya menoleh kearahnya, lalu berkata,”sudahlah Ki Baruna jangan kembali kemasa yang telah lewat, lebih baik kita bekerja keras untuk memberi arti pada hidup yang kita jalani,”kata Wijaya sambil tersenyum lebar.

Ki Baruna mengangguk setuju, dalam hatinya ia bersyukur telah di sadarkan oleh para bebahu kademangan.

Perjalanan mereka akhirnya telah mendekati pasar yang dituju. Tampak para lelaki memikul barang dagangannya dan perempuan-perempuan paruh baya membawa barang belanjaannya pada tenggok dipunggung, yang diikat dengan kain.

Sampailah ia pada sebuah toko penjual gerabah, Wijaya dan Ki Baruna menurunkan gerabahnya dari pedatinya. Setelah pembelinya membayar dengan sejumlah uang, kemudian keduanya menyempatkan diri makan pada sebuah kedai.

Kedai itu cukup ramai pembeli, setelah memesan dua piring nasi dan minuman hangat, mereka berdua menyantap dengan lahap.

“Wah..., ternyata membeli sesuatu dari hasil kerja keras itu betapa nikmatnya ya...?”kata Ki Baruna sambil meneguk minuman hangatnya.

“Benar Ki Baruna.., kita akan membuat gerabah lebih banyak lagi nanti..!”sahut Wijaya penuh semangat.

“Rasanya sudah lama aku tidak makan dari makanan yang halal,”kata Ki Baruna lagi.

“Yang Maha Kuasa memang Maha Adil, apa yang kita dapat dari usaha yang sungguh-sungguh, pasti berkah bagi diri kita pula,”ujar Wijaya.

Ki Baruna menepuk-nepuk bahu Wijaya.

“Mudah-mudahan untuk selanjutnya aku tetap dijalur yang benar.”

Setelah merasa cukup, mereka berdua akhirnya meninggalkan kedai itu untuk pulang ke Kembojan.

Seperti ketika berangkat Wijaya bertugas yang menjadi sais pedati, sementara Ki Baruna disampingnya tak henti-hentinya berbicara tentang keindahan alam dan kerinduannya akan lumpur sawah yang ia garap di kampung halamannya.

Sesungguhnya yang mengubah akan alur hidupnya selama ini adalah kegemarannya berjudi, yang mengakibatkan ia menelantarkan keluarganya.

Saat matahari lewat diatas kepala, pedatinya yang mereka tumpangi agak cepat bergerak, karena sudah tak lagi bermuatan gerabah. Ketika sampai pada sebuah kelokan jalan, dimana kanan kirinya berjajar pohon-pohon rindang, mereka dikejutkan oleh tiga orang yang berdiri menghadang.

Wijaya yang melihat itu memperlambat pedatinya dan kemudian berhenti tepat didepan ketiga orang yang menghadang tersebut.

Ki Baruna yang merasa ada sesuatu yang tidak beres, memberi isyarat pada Wijaya.

“Berhati-hatilah.., sepertinya kita dalam masalah !”ujar Ki Baruna.

Baru sekejap mulut Ki Baruna berucap, ia dibuat tercengang melihat ketiga orang yang menghadangnya.

“Jumprit.., Gandar.., dan kau Turba...?”Ki Baruna berkata.

“Apa maksudmu berdiri menghalangi jalananku ?”

Yang berbadan besar dari mereka maju selangkah dan berkata,”kau masih mengenal kami Baruna..?”

“Berarti ingatanmu masih baik Baruna...?”

“Yang membuatku tak habis pikir adalah, kenapa kau berkhianat dan memilih bergabung dengan orang-orang Kademangan ?”tanya orang yang bertubuh gemuk tadi.

“Persetan..!”

“Aku bukan berkhianat Gandar..., akan tetapi aku sadar akan perbuatan gilaku sebelumnya !”kata Ki Baruna dengan nada tinggi.

Kemudian satu lagi yang bertubuh kurus dan bermata dalam berkata,”apa pun alasanmu kau tak dapat lagi menghindar sekarang..., kau akan kami bawa menghadap pimpinan kita..!”

Ki Baruna yang geram turun dari pedati, diikuti Wijaya disebelahnya. Mereka berdua lalu berdiri didepan orang-orang yang menghadang itu.

Ki Baruna yang memang mengenal ketiga orang itu sebelumnya, berkata kepada yang bertubuh kurus dan bermata dalam.

“Jumprit..., aku sudah muak dengan kehidupanku yang silam. Aku tidak akan kembali lagi kepada gerombolanmu itu !”

“Kalau kau ingin menangkapku apa boleh buat.., aku akan mempertahankan diriku..!”ujar Ki Baruna.

Suasana menegang, diantara ketiga orang yang menghadang itu sudah mengetahui bahwa Ki Baruna adalah sosok gegedug yang ilmu beladirinya perlu diperhitungkan.

Tetapi tanpa diduga-duga, seorang dari ketiga kawanan perampok itu menarik pisau belati dari balik bajunya, lalu mengacungkannya tepat di leher Wijaya.

“Kakang Jumprit dan kau Gandar..., cepat habisi Baruna !”kata orang yang namanya disebut Turba oleh Ki Baruna.

“Biar anak muda ini akan aku jadikan sandera !”ujar orang itu.

Jumprit yang merasa dituakan dari kedua temannya, memberi isyarat pada Gandar untuk bersiap.

Turba yang menodongkan pisau belati, lalu meminta Wijaya membelakanginya. Kemudian  sekarang pisau itu ia ditempelkan dileher Wijaya mendatar.

“Jangan bertindak bodoh anak muda.., atau belati ini akan merobek lehermu !”Turba mengancam.

Wijaya tak melawan, ia hanya menuruti perintah orang itu.

Ki Baruna menggeretakkan giginya karena kecurangan lawan yang dihadapi. Ia lalu bersiap menghadapi dua orang sekaligus, yaitu Jumprit dan Gandar.

Jumprit dan Gandar menarik pedangnya dilambung, sementara Ki Baruna sendiri belum menghunus pedangnya.

Gandar yang tak sabar langsung menyilangkan pedangnya kearah dada Ki Baruna, Ki Baruna sendiri menghindar dengan mundur selangkah. Disusul tusukkan pedang Jumprit kearah dada, Ki baruna menggeliatkan tubuhnya kesamping. Akibatnya tusukkan itu hanya mengenai ruang hampa disisi tubuhnya. Ki Baruna tak tinggal diam, ia memukul dengan telapak tangan terbuka pundak Jumprit. Jumprit terdorong dengan pedang yang masih tergenggam ditangan, tetapi ia masih mampu mempertahankan diri sehingga tidak tersungkur.

Gandar yang melihat itu, menjadi marah. Ia menebaskan pedangnya mendatar kearah perut.Ki Baruna berguling kesamping menghindar.

Merasa kewalahan Ki Baruna menarik pedangnya dilambung, lalu menyongsong serangan Jumprit yang menjulurkan pedangnya lurus.  Pedang itu ditepisnya kesamping, tapi seketika itu juga kakinya menendang perut lawannya. Lagi-lagi Jumprit terdorong mundur kebelakang.

Dipinggir arena Andaru Wijaya menyaksikan dengan tegang, ia menilai ilmu pedang Ki Baruna diatas lawan yang dihadapi. Akan tetapi mendapat lawan dua orang, sampai kapan Ki Baruna dapat bertahan ?

Pertanyaan itu muncul dibenak Wijaya, sementara Turba masih menekan pisau dilehernya.

Diarena pertarungan itu Ki Baruna membendung serangan Jumprit dan Gandar yang susul-menyusul dengan tangkas. Terlihat beberapa kali Ki Baruna mampu mendesak keduanya secara bergantian.

Peluh bercucuran di sekujur tubuh Jumprit dan Gandar. Jumprit yang mampu menilai keadaan lalu merubah tak-tik serangan. Ia ingin melibatkan Turba yang sedang menyandera Wijaya.

“Turba tinggalkan pemuda bodoh itu.., bantu kami meringkus Baruna ini !”teriak Jumprit.

Turba langsung mendorong Wijaya pada bagian punggung, membuat Wijaya jatuh berlutut. Kemudian Turba menghunus belatinya dan membantu kedua temannya mengepung Ki Baruna.

“He Jumprit.., ternyata kalian pengecut !”

“Kalian mau mengeroyokku he..?”kata Baruna dengan dada bergejolak.

“Tidak ada aturan yang mengharuskan kami beradu dada denganmu Baruna.., terimalah nasibmu hari ini !”sahut Jumprit sambil memberi isyarat kepada kedua temannya untuk menyerang bersamaan.

Beberapa saat tiga kawanan tersebut langsung menyerang Ki Baruna secara bertubi-tubi. Kilatan pedang dan belati ketiga orang itu menyambar-nyambar tubuh Baruna. Ki Baruna menepis dengan tangkasnya, akan tetapi lama kelamaan ia terdesak mundur.

Hingga pada satu kesempatan ia berkata nyaring kepada Wijaya yang berdiri terpaku memandang pertarungan itu.

“Tunggu apa lagi anak muda...?”

“Majulah ke gelanggang.., jangan seperti anak ayam kehilangan induknya !”kata Ki Baruna nyaring.

Wijaya yang mendapat peringatan itu berpikir sejenak.

Apabila ia ikut bertarung tentu jati dirinya akan diketahui, akan tetapi jika ia berdiam diri, Ki Baruna tentu akan mengalami kesulitan menghadapi ketiga orang itu.

Sementara itu Ki Baruna makin terdesak, belati Turba meski berukuran pendek bergerak gesit berusaha menggapai tubuh Ki Baruna. Turba yang baru turun ke arena, paham benar bagaimana menggunakan belatinya. Tubuhnya yang mungil menusukkan belatinya ke bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Hingga pada satu kesempatan belatinya mampu menggores lengan kiri Ki Baruna.Ki Baruna mengeluh pendek, tetapi kemudian Gandar memukul rahangnya, dan disusul Jumprit hendak menusukkan pedangnya ke lambung Ki Baruna yang masih yang masih berkunang-kunang karena pukulan Gandar.

Tetapi kemudian Wijaya mengambil sikap. Ia memungut sebuah kerikil seukuran ibu jari ditanah, dijentikkan jarinya dengan tenaga dalam. Kerikil itu melesat mengenai telinga Jumprit, Jumprit pun mengerang kesakitan. Pedangnya urung mengenai Ki Baruna.

Ketiga kawanan itu terkejut dan menoleh kearah Wijaya yang berdiri dengan kaki renggang dengan sorot mata tajam.

“Jangan berkelahi seperti anak kecil yang berebut mainan..!”

“Hadapilah secara jantan..!”ujar Wijaya.

Jumprit yang telinganya sakit karena terkena lontaran kerikil Wijaya angkat bicara.

“Oh..ini ternyata pemuda yang menggemparkan Kademangan Kembojan. Karena telah berhasil melumpuhkan Ki Baruna dengan kemampuan bidiknya !”

Andaru Wijaya masih terdiam, sementara Ki Baruna memanfaatkan waktu yang sedikit itu untuk membalut lengannya yang terluka. Ia merobek ujung baju bagian bawahnya, lalu membalut lengannya yang tergores.

“Ayo tunjukkan kemampuanmu bertarung.., bergabunglah dengan Baruna dan lawan kami..!”kata Jumprit dengan nada tinggi.

Andaru Wijaya langsung mengambil peran disisi Ki Baruna, dengan menggenggam sebuah tongkat kayu yang ia ambil dari pedatinya.

“Akhirnya kau turun kearena juga !”Ki Baruna berkata lirih.

“Maafkan aku Ki Baruna, aku bimbang mengambil keputusan !”sahut Wijaya.

“Sudahlah..., mari kita bersiap menghadapi kawanan perampok itu, aku tahu kau mempunyai kemampuan, terlihat dari caramu melontarkan batu kecil tadi !”

Wijaya sempat memandang Ki Baruna, lalu bersiap dengan kuda-kudanya.

“Apa boleh buat Ki Baruna, bukan maksudku tidak mau membantumu !”ucap Wijaya, lalu mengacungkan tongkat kayunya siap bertarung.

Di kubu lawan, Jumprit yang merasa diremehkan oleh Wijaya, langsung menyerang dengan pedangnya, ia menebas mendatar kearah Wijaya. Wijaya membungkukkan badannya untuk menghindar.

Saat posisi Wijaya yang dalam keadaan merunduk, Jumprit menendang dengan kakinya kepundak Wijaya. Wijaya memukul kaki Jumprit yang hampir menggapai pundaknya dengan tongkat kayunya. Jumprit mengerang kesakitan sambil memegangi sebelah kakinya.

Turba tak tinggal diam ia berniat menghujamkan belatinya kepunggung Wijaya yang dalam keadaan berjongkok. Tetapi Wijaya dengan sigap menyodokkan tongkatnya kearah belakang, sehingga tongkat itu kini berada diatas kepalanya. Akibatnya, dada Turba terasa sesak karena terkena tongkat yang mengenai dadanya, ia pun terbatuk-batuk dan terbungkuk.

Andaru Wijaya yang tidak ingin berlama-lama dengan pertarungan itu. Sekali lagi tongkatnya mematuk pundak Turba. Turba yang terlambat menghindar, tulang sendinya terasa lemas dan akibatnya belatinya pun jatuh ditanah. Dengan cepat Wijaya meraih belati itu dan menyelipkkan dipinggangnya.

Sementara itu Jumprit yang masih terpincang-pincang kembali menjadi sasaran Wijaya. Tongkatnya diangkat setinggi dadadengan tangan kirinya. Lalu tangan kanannya ditarik kebelakang, dengan telapak tangan terbuka dihentakkannya ujung tongkat kayu tersebut. Tongkat kayu pun melesat kearah dada Jumprit, Jumprit pun terdorong mundur dua langkah dan terbungkuk-bungkuk memegangi dadanya. Tulang iganya serasa patah, ia pun akhirnya terduduk ditanah.

Melihat musuh yang satu lagi berdiri bebas, yaitu Gandar. Wijaya menarik belati milik Turba yang ada terselip dipinggangnya. Ia lalu melontarkannya kearah Gandar, pisau itu pun menancap dipaha Gandar hampir separuh bagian.

Gandar pun terpekik, dari pahanya mengalir darah. Gandar marah melihat pisau yang menancap dipahanya dilontarkan Wijaya. Dengan menahan sakit ia tarik pisau itu, kemudian ia lemparkan kembali kearah Wijaya.

Tetapi Gandar memang tidak pandai membidik, pisau itu hanya melintas diatas bahu Wijaya. Wijaya sendiri tak bergeming sedikit pun dari tempatnya berdiri.

Ki Baruna yang menyaksikan itu berdecak kagum.

“Bukan main anak muda ini..., seperti yang aku duga, dia memang tangguh !”gumamnya.

Andaru Wijaya masih berdiri dengan kaki renggang. Sorot matanya tajam memandang ketiga musuhnya.

Jumprit berdiri dengan timpang, karena tulang kering  pada kakinya terkena pukulan tongkat Wijaya.

Turba yang sebelumnya menodong pisau di lehernya pun, kini memegangi dadanya yang sesak.

Sementara Gandar sendiri meringis akibat luka tusukan dipahanya yang masih mengeluarkan darah.

“Apakah kalian ingin meneruskan permainan ini...?”

“Cepat majulah bersama-sama..., aku sudah tidak sabar menghancurkan kepala kalian dengan tongkat kayu yang tak berarti ini..!”teriak Wijaya.

Ketiga kawanan perampok itu saling berpandangan, tetapi kemudian Jumprit yang tertua  memberi isyarat dengan bersuit nyaring. Seketika itu juga ketiga orang itu berlari dengan tergopoh-gopoh meninggalkan Wijaya dan Ki Baruna.

Andaru Wijaya  dan Ki Baruna membiarkan mereka pergi begitu saja. Karena bagi mereka titik permasalahannya ada pada pimpinan mereka, yaitu Si Kembar Warugal dan Warugul. Atau biasa disebut dengan sepasang pendekar dari Alas Krapyak.

Kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan pulang ke Kembojan.

Ki Baruna pun memberi tanggapan atas aksi mengagumkan Wijaya.

“Kau memang luar biasa Wijaya..., dengan cepat kau bisa melumpuhkan tiga orang sekaligus !”ujar Ki Baruna sambil tersenyum.

“Ah Ki Baruna terlalu memujiku.., aku nanti bisa besar kepala karenanya !”

“Tapi kau memang pandai menyimpan kemampuanmu di depan rakyat Kembojan. Apakah kau tidak muak melihat tingkah Danuarta yang kadang sok kuasa itu ?, lantaran pamannya seorang demang.”

“Belum lagi orang yang merasa sok dermawan yang bernama Kuntara itu, aku yakin orang itu ada pamrihnya,”lanjut Ki Baruna.

Wijaya mendengarkan perkataan Ki Baruna, sambil mengendalikan pedatinya.

Ia tercenung sesaat dan membathin, walaupun belum berapa lama tinggal dikademangan, ternyata Ki Baruna pandai menilai keadaan.

“Begitulah Ki Baruna.., Danuarta sebenarnya berhati baik. Tetapi hasratnya untuk memimpin membuat sikapnya terkadang berlebihan, sedangkan Kuntara yang dermawan itu ingin selalu terlihat sempurna dimata Ki Demang.”

Ki Baruna mengangguk-angguk, lalu berkata,”artinya kita harus pandai-pandai menempatkan diri..., begitu maksudmu ?”

“Benar..,”jawab Wijaya pendek.

“He..., apakah artinya kau juga memainkan lakon  ?” tanya Ki Baruna sambil membelalakan matanya.

“Lakon Pendekar Pembuat Gerabah ?”Ki Baruna berseloroh.

Tanpa bersepakat tawa mereka berdua meledak diantara jalan utama yang mulai mendekati kademangan.

Ketika melintas dimuka rumah Ki Demang Sorenggana, demang itu melambaikan tangan. Mereka berdua pun membalas lambaian tangan Ki Demang dari atas pedati.

“Pemuda itu membuat Ki Baruna yang semula sekeras baja menjadi lunak, ia memberi pengaruh baik bagi kademangan ini,”Ki Demang bergumam, sambil mengangguk-angguk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun