“Mudah-mudahan untuk selanjutnya aku tetap dijalur yang benar.”
Setelah merasa cukup, mereka berdua akhirnya meninggalkan kedai itu untuk pulang ke Kembojan.
Seperti ketika berangkat Wijaya bertugas yang menjadi sais pedati, sementara Ki Baruna disampingnya tak henti-hentinya berbicara tentang keindahan alam dan kerinduannya akan lumpur sawah yang ia garap di kampung halamannya.
Sesungguhnya yang mengubah akan alur hidupnya selama ini adalah kegemarannya berjudi, yang mengakibatkan ia menelantarkan keluarganya.
Saat matahari lewat diatas kepala, pedatinya yang mereka tumpangi agak cepat bergerak, karena sudah tak lagi bermuatan gerabah. Ketika sampai pada sebuah kelokan jalan, dimana kanan kirinya berjajar pohon-pohon rindang, mereka dikejutkan oleh tiga orang yang berdiri menghadang.
Wijaya yang melihat itu memperlambat pedatinya dan kemudian berhenti tepat didepan ketiga orang yang menghadang tersebut.
Ki Baruna yang merasa ada sesuatu yang tidak beres, memberi isyarat pada Wijaya.
“Berhati-hatilah.., sepertinya kita dalam masalah !”ujar Ki Baruna.
Baru sekejap mulut Ki Baruna berucap, ia dibuat tercengang melihat ketiga orang yang menghadangnya.
“Jumprit.., Gandar.., dan kau Turba...?”Ki Baruna berkata.
“Apa maksudmu berdiri menghalangi jalananku ?”