Jadi dilihat dari semangat penghapusan Pasal 136 KUHP yang berisi penghinaan terhadap gubernur jenderal itu -yang pada dasarnya sama dengan presiden sebagai kepala pemerintahan- maka sudah seharusnya Pasal 134 KUHP itu tidak perlu diterapkan dalam praktek karena sudah tidak relevan lagi di era UUD Dektrit Presiden. Apalagi di era UUD 1945 amandemen yang telah memberikan spirit demokrasi dan penguatan hak asasi manusia. Maka tepat pendapat ahli Boy Mardjono yang menyarakan sebaiknya penghinaan presiden itu dimasukan dalam pasal penghinaan biasa atau pencemaran nama baik sebagaimana di atur dalam 310 KUHP. Pandangan ini sama dengan pendapat ahli Sutito yang disampaikan dalam persidangan.
Tafsir Pasal 28 F dan Pasal 28J UUD 1945 Amandemen
Setelah diketahui tafsir Pasal 134 KUHP berdasarkan penerapannya dan sejarah perubahan kata raja menjadi presiden, maka di bawah ini akan dikaji sisi hubungan antara Pasal 134 dengan Pasal 28F UUD 1945 amandemen, apakah masih relevan (baca: konstitusional) atau tidak.
Sebelum memahami pengertian pasal 28F tersebut, terlebih dahulu perlu dijelaskan di sini pengertian kedudukan presiden menurut UUD 1945 amandemen. Hal ini penting untuk dikaitkan dengan kedudukan raja seperti disebut di atas. Secara singkat kekuasaan presiden menurut UUD 1945 amandemen adalah sebagai berikut.
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden (Pasal 4). Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara (Pasal 17 ayat 1). Selain memegang kekuasaan pemerintahan, Presiden juga memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara (Pasal 10 ).
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif), bukan pemegang kekuasaan negara (kepala negara) sebagaimana yang biasa dipegang oleh raja dalam sistem parlemneter. Anak kalimat yang menyebutkan presiden adalah ”kepala negara” sudah tidak ada lagi dalam UUD 1945 amandemen, berbeda dengan UUD 1945 (lama), yang secara eksplisit disebut dalam Penjelasan umum angka VII dan Penjelasan Pasal 10 s.d. 15.
Presiden tiada lain adalah jabatan publik untuk jangka waktu 5 tahun, sangat berbeda dengan raja yang seumur hidup. Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu, berbeda dengan raja yang tidak dipilih oleh rakyat. Saat kampanye pemilihan presiden, para calon presiden mengumumkan janji-janji jika ia terpilih nanti. Rakyat rela memilih calon presiden karena percaya dengan janji-jani tersebut. Lalu apakah nanti setelah ia menjadi presiden ternyata ia ingkar janji, kemudian rakyat atau sebagian rakyat menagihnya dengan caranya sendiri agar mudah mengundang perhatian publik, tidak dibenarkan karena bisa dituduh menghina presiden?, tentu ini tidak adil. Pandangan ini sesuai dengan pendapat ahli Effendi Gazali yang diutarakan dalam sidang sebagaimana kutipan berikut:
”Undang-Undang Dasar 1945 khususnya amandemen yang kedua itu sudah menjamin supaya proses transisi ini mencapai tujuannya, karena kita sedang menuju ke sana dan itu sudah kita lakukan dengan benar, dengan pemilihan langsung dan karena itu hak setiap warga negara untuk melakukan kritik untuk menagih janji-janji kampanye itu harus juga dijamin. Saya ingin memperkuat teori ini dengan kenyataan empirik supaya jelas dimana posisi teori ini. Saya tidak ingin mengambil contoh Amerika Serikat. Saya bisa menyampaikannya dalam bentuk tertulis nanti, tapi di Indonesia saya ingin mengatakan demikian: saya rasa semua kita yang ada di dalam ruangan ini sampai tingkat tertentu percaya bahwa selama pemerintahan Presiden Soeharto dan mungkin ditambah lagi dengan keluarganya dan lain-lain, telah terjadi tindakan korupsi, itu kenyataan empirik. Tetapi karena pasal yang sedang kita gugat ini berlaku, dan pada waktu itu belum berlaku Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28F, maka umumnya orang tidak berani berteriak menyatakan Presiden Soeharto atau keluarganya korupsi, justru karena tersandung pada pasal ini, atau kalau ada seseorang atau kelompok yang berteriak seperti itu maka mereka segera dijerat oleh pasal yang akan kita batalkan ini, akibatnya selama 32 tahun Presiden berkuasa dia sama sekali tidak pernah terlihat korupsi, tidak pernah ada pengadilan korupsi terhadap dia, tidak pernah ada gugatan dari publik terhadap dia, tak lain karena pasal-pasal ini. Jadi sekali lagi itu kenyataan empirik yang tidak bisa kita bantah, saya yakin betul bahwa semua kita yang ada di ruangan ini percaya telah terjadi suatu kesalahan selama masa pemerintahan Orde baru, kalau tadi saya mengambil contoh kasus korupsi, belum lagi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia dan lain-lain sebagainya”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa presiden sebenarnya manusia biasa, yang boleh ditagih janjinya, yang boleh dikritik baik kritik positip ataupun negatip, dan yang boleh didemo. Jika perbuatan menagih janji, mengkitik dan mendomo itu ternyata melanggar ketertiban umum maka biarlah mereka yang melanggar ketertiban umum yang dijerat dengan pasal lain, yakni pasal yang mengatur ketertiban umum, bukan pasal pengihinaan presiden.
Presiden adalah jabatan publik yang melekat pada orangnya, sama halnya dengan jabatan hakim. Namun posisi presiden tidak sama dengan posisi sidang pengadilan. Itulah sebabnya, kalau dalam pengadilan tidak dibenarkan adanya penghinaan karena dapat dituduh ”contempt of court”. Tentu saja asas contempt of court ini jauh berbeda dengan penghinaan terhadap presiden meskipun pengadilan dan presiden sama-sama lembaga negara, namun perlu diiangat bahwa posisi presiden diraih melalui janji-janji di pemilu yang tentu saja boleh ditagih dan yang lebih penting lagi bahwa presiden dapat disalahkan. Ini berbeda dengan posisi sidang pengadilan yang memang dari awalnya memiliki posisi ”sakral”, sebagaimana tercermin dalam asas yang mengatakan bahwa ”putuhan pengadilan (hakim) selalu dianggap benar”. Kesimpulan perbedaan ini bisa ditarik dari cara berpikir silogisme: manusia makan nasi, ayam juga makan nasi, maka baik ayam maupun manusia sama-sama makan nasi, namun demikian ayam dan manusia tetap berbeda.