MELAWAN LUPA
Kajian Konstitusional Pasal Penghinaan Terhadap Presiden Pra Putusan MK Dalam Perpektif Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Taufiqurrohman Syahuri (Dosen HTN Fakuktas Hukum UPN Veteran Jakarta)
Pengantar
Artikel berikut ini merupakan tulisan lama tahun 2006 sebagai pemikiran dalam rangka menyongsong Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian pasal-pasal penghinaan dalam KUHP terhadap presiden yang permohonan pengujiannya itu diajukan oleh Agi Sujana ketika itu sebagai tersangka penghinaan terhadap presiden di masa Presiden Soesilo Bambang Yudoyono yang dikenal dengan panggilan SBY. Artikel ini sudah dibukukan dalam buku penulis yang berjudul Tafsir Konstitusi Berbagai Apek Hukum Terbtan tahun 2013. Untuk melawan lupa, artikel ini penting penulis munculkan kembali guna menghadapi akan dilahirkannya kembali pasal-pasal penghinaan terhadap pengelola negara dalam RUU KUHP dengan narasi lain tetapi jiwa dan substansinya sama aja, yang kini sedang dibahas oleh Pemerintah bersama DPR. Pengelola negara merasa keberatan martabatnya sebagai pejabat direndahkan, padahal yang merendahkan martabat itu sejatinya diri sendiri apabila ia bertindak buruk dan melanggar hukum. Berikut ini kajian artikel dimaksud.
Untuk melihat sisi konstitusionalitas pasal-pasal KUHP yang dimohonkan Pemohon, perlu terlebih dahulu mengetahui substansi pasal-pasal tersebut, baru kemudian dianalis berdasarkan Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang ditunjuk oleh Pemohon. Pengkajian konstitusionalitas terhadap pasal-pasal KUHP tersebut akan dilakukan tidak semata-mata dilihat dari sisi pengertian muatan meteri pasal-perpasal dalam UUD 1945 melainkan juga akan dilihat dari sisi jiwa dan semangat munculnya pasal-pasal UUD 1945 terutama hasil amandemen. Metode demikian cocok dengan pandangan Penjelasan Umum UUD 1945 (Proklamasi), yang menyebutkan:
”memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitutionel) suatu negara, tidak cukup hanya menyelediki pasal-pasal Undang-Undang Dasarnya (loi constititionelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga bagaimana prakteknya dan bagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari Undang-Undang Dasar itu”.
Tanpa menggunakan pendekatan metode ini, maka pengujian konstitusional Pasal 134, 136 bis, 137 KUHP tidak akan ada artinya, sulit untuk dibuktikan sisi konstitusionalitas atas pasal-pasal KUHP terebut, sungguhpun dari sisi sejarah hukum jelas ada perbedaan. Kita akan mengatakan bahwa di beberapa negara, ada juga norma hukum yang melarang penghinaan terhadap presiden atau kepala negara, atau raja, terlepas dari ada pengaduan atau tidak. Lalu apa sisi konstitusionalnya terhadap pasal penghinaan dalam KUHP. Bukankah ditinjau dari sisi prosedur pembentukannya sudah sesuai dengan konstitusi? Agar kita tidak terjebak pada pemahaman demikian, maka kita perlu mengkaji pasal penghinaan aquo dari sisi penerapannya (baca: penafsiran) oleh penguasa. Ini bukan berarti semata-mata soal penerapan pasal aquo, karena hal ini bisa di luar kewenangan Mahkamah. Namun demikian, disadari bahwa rumusan pasal-pasal akan menjadi “tidur” kalau tidak pernah diterapkan dalam praktek. Untuk mengetahui penafsiran sebenarnya dari sebuah pasal, tidak bisa lepas dari sisi penerapannya. Sebagai contoh, Pasal 7 UUD 1945 (lama) yang mengatakan, “presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Dari sisi rumusan nampak netral, dan tidak salah apabila ada orang yang memahami presiden cuma diberi kesempatan untuk dipilih satu kali saja, namun juga tidak salah apabila dipahami sebaliknya, yakni presiden dapat dipilih berkali-kali. Yang terakhir ini yang dianut oleh mantan presiden Soeharto. Kemudian atas desakan rakyat, akhirnya melalui amandemen UUD 1945, rumusan Pasal 7 itu direvisi, dipertegas, sehingga tidak lagi dapat ditafsirkan sesuai kepentingan penguasa.
Kondisi yang sama terdapat pula dalam rumusan pasal penghinaan terhadap presdien tersebut. Jika dilihat sekilas tidak ada persoalannya dengan konstitusi, namun jika dilihat dari sisi penerapannya yang banyak menimbulkan korban, akan nampak pertentangannya dengan semangat demokrasi dan penguatan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi oleh konstitusi amandemen. Di sinilah letak persoalannya, sehingga tepat sekali pernyataan yang mengatakan, Mahkamah adalah penjaga konstitusi, demokrasi dan hak asasi. Artinya penafsiran terhadap pasal-pasal dalam konstitusi harus selalu dilihat juga dari aspek demokrasi dan hak asasinya.
Penafsiran Pasal 134, 136, dan 137 KUHP
Pasal 134, 136bis, 137 KUHP perihal penghinaan terhadap presiden yang dimohonkan oleh Pemohon terdapat dalam Buku II tentang Kejahatan pada Bab II mengenai kejahatan-kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden.