Orang yang berbicara dengan sopan tidak terlepas dari latar belakang budayanya. Menurut Chaer (2010), kemampuan berbahasa yang sopan tidak dipengaruhi oleh pangkat, kedudukan, atau jabatan, melainkan oleh tingkat budaya individu. Kesantunan dalam berbicara dapat juga terlihat pada anak saat berinteraksi dengan orang tua, saudara, teman, atau orang lain di sekitarnya. Contohnya, seorang anak akan mengatakan salam saat menerima atau menjawab panggilan telepon. Walaupun mungkin masih meniru orang lain dalam menerima atau menjawab panggilan telepon, dia sudah menunjukkan sopan berbicara (Alimuddin, 2014).Â
Pendidikan kewarganegaraan mengajarkan bahwa, kesantunan berbahasa juga mengedukasi kita tentang bagaimana berinteraksi dengan sesama dalam kerangka kehidupan bermasyarakat yang demokratis dan penuh penghargaan terhadap hak asasi manusia. Kesopanan suatu ucapan ditentukan oleh norma-norma yang berlaku di masyarakat pengguna bahasa tersebut (Lahabu et al., 2021). Menurut bahasa Indonesia, seseorang dianggap berbicara sopan jika tidak secara langsung mengolok-olok orang lain dan menunjukkan rasa hormat kepada mereka. Kesopanan dalam menggunakan bahasa, terutama saat berbicara, bisa dikenali melalui beberapa cara. Menurut Leech (1983), suatu tuturan dianggap sopan jika berprinsip pada: (1) Tact; (2) Generosity; (3) Approbation; (4) Simplicity; (5) Agreement; (6) Sympathy (Wahidah & Wijaya, 2017). Dengan mengikuti pedoman kesopanan ini, kita bisa berkomunikasi dengan baik dan sopan di segala situasi. Akibatnya, interaksi sosial dapat dipertahankan dengan baik dan komunikasi dapat berjalan lancar (Kurino et al., 2023).Â
Indonesia terdapat berbagai macam bahasa yang dipakai di setiap wilayahnya. Namun, di antara banyaknya bahasa yang dipakai oleh masyarakat, ada satu bahasa yang merepresentasikan semua bahasa tersebut yang harus dikuasai oleh penduduk Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang mempersatukan. Belakangan ini, generasi muda terutama siswa di Indonesia sering menghadapi banyak tantangan dalam berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Berasal dari bahasa lokal, slang, atau campuran kata-kata asing dengan bahasa Indonesia. Banyak orang yang khawatir dan berpendapat bahwa penggunaan kosakata baru tersebut merusak bahasa aslinya. Memang sulit dihindari dengan teknologi informasi yang semakin terbuka saat ini dan aliran informasi yang cepat, budaya asing semakin memengaruhi siswa dalam berinteraksi dan berkomunikasi.Â
Meskipun tidak merusak tata bahasa, istilah-istilah baru (gaul) semakin memperkaya kosakata tidak resmi dalam bahasa Indonesia. Pengguna Bahasa Indonesia perlu bisa membedakan antara yang dianggap baku dan yang sedang berkembang. Kita semua menyadari bahwa bahasa Indonesia sudah memiliki struktur yang tepat dan baik. Tetapi tidak dapat disangkal, karena perubahan zaman yg begitu cepat, istilah-istilah baru muncul. Tidak diketahui siapa yang menciptakan dan membuat menjadi populer, tiba-tiba saja kita sering mendengar kata-kata yang belum pernah kita dengar sebelumnya. Lebih-lebih mahasiswa yang secara tidak sengaja menggunakan dan membagikan bahasa gaul dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga, kampus, sekolah, masyarakat, maupun dalam teknologi modern yang dikenal sebagai dunia maya, terpengaruh oleh hal ini. Mereka mengaplikasikan bahasa informal ini di platform media sosial mereka. Penggunaan bahasa informal ini memiliki dampak yang besar tidak hanya pada kehidupan tetapi juga pada struktur sosial (Kurniawaty, 2022).Â
Mulyana (dalam Sari 2015 : 2) menyatakan bahwa bahasa gaul merupakan kata-kata atau istilah yang memiliki makna spesifik, unik, keluar dari kebiasaan, atau bahkan bertentangan dengan makna umumnya bagi individu dalam suatu subkultur. Masyarakat di masa lampau tidak hanya menggunakan bahasa gaul tapi juga bahasa prokem. Berdasarkan Hilaliyah 2010 : 2, Bahasa prokem dikenal juga sebagai bahasa sandi yang populer di kalangan remaja.Â
Bahasa gaul ialah salah satu cabang bahasa yang berasal dari bahasa Indonesia. Istilah gaul  mulai populer di kalangan orang pada sekitar tahun 1980-an. Tahun 1980-an, bahasa gaul lebih dikenal sebagai bahasa prokem. Bahasa prokem dulu dipakai oleh kelompok preman dalam pergaulan. Penggunaan bahasa prokem ini adalah sebuah kode yang sering digunakan oleh sekelompok orang. Dapat dianggap sebagai kode karena interpretasi bahasa prokem bisa beragam di setiap kelompok. Hanya anggota kelompok tersebut yang mengetahui makna dari bahasa itu. Pada mulanya, penggunaan bahasa prokem ini dimaksudkan untuk merahasiakan percakapan dari kelompok-kelompok tertentu (Azizah, 2019).Â
Trend bahasa gaul dan konten viral saat ini, secara tidak langsung mengubah pola berbahasa masyarakat. Hal tersebut tentunya sangat mempengaruhi masyarakat, terutama kalangan remaja dalam menerapkan kesantunan berbahasa. Akibatnya, norma-norma kesopanan yang biasanya dijunjung tinggi dalam budaya berbahasa, seperti penggunaan sapaan yang sopan, tata bahasa yang baik, dan pemilihan kata yang tepat, sering kali terabaikan. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengedukasi masyarakat, terutama remaja, agar tetap menjaga kesantunan berbahasa meskipun terpapar tren bahasa gaul yang terus berkembang.Penelitian ini dilakukan untuk mengamati tingkat kesantunan berbahasa siswa di SMPN 23 Padang di tengah trend bahasa gaul.Â
METODE
1. Metodologi Penelitian Â
 Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, berupa wawancara yang dilakukan secara langsung kepada para siswa/i SMPN 23 Padang hal ini dilakukan untuk memahami bagaimana kesantunan berbahasa dapat diterapkan oleh siswa SMPN 23 padang di tengah pengaruh tren bahasa gaul dan konten viral. Pendekatan ini dipilih karena memungkinkan pemahaman yang mendalam terhadap prilaku siswa terkait fenomena kesantunan berbahasa baik dilingkungan sekolah maupun media sosial dan penelitian ini akan mengidentifikasi bentuk-bentuk kesantunan berbahasa yang mungkin mengalami perubahan atau penurunan kualitas akibat pengaruh bahasa gaul dan konten viral yang sering mereka konsumsi.  Â
2. Metode Pengumpulan Data  Â