Dalam seminggu ini, dunia penerbangan kembali diramaikan oleh peristiwa  tragis, yaitu rentetan  kecelakaan Azerbaijan Airlines, dan Jeju Air,. Peristiwa ini mengingatkannya saya akan dua insiden yang bahkan lebih memilukan karena jumlah korban yang lebih banyak yaitu peristiwa  MH17 dan KE  007.Â
Insiden-insiden ini memperlihatkan bahwa penerbangan sipil masih menghadapi tantangan besar, baik dari human factor, kegagalan teknis, maupun geopolitik yang tak terduga.
Salah satu kejadian yang menarik perhatian adalah insiden Jeju Air di Korea Selatan pada 29 Desember 2024, yang menambah daftar panjang kecelakaan di penghujung tahun.Â
Yuk  kita bahas  pelajaran penting dari insiden-insiden tersebut, termasuk bagaimana human factor dapat memengaruhi keselamatan penerbangan.
Kronologi Insiden Jeju Air
Pada 29 Desember 2024, pesawat Jeju Air yang terbang dari Bangkok menuju Bandara Muan, Korea Selatan, mengalami kecelakaan fatal. Pesawat tergelincir saat mendarat setelah roda pendaratan depan gagal berfungsi. Insiden ini menewaskan 177 dari 181 penumpang dan awak.
Faktor-Faktor yang Disoroti dalam Investigasi Awal
1.Kondisi Teknis Pesawat
*Roda pendaratan depan dilaporkan mengalami malfungsi saat pesawat mendekati landasan.
*Pilot telah berusaha untuk melakukan pendaratan darurat, tetapi tidak berhasil menghindari tergelincirnya pesawat.
2.Human Factor
*Pilot memutuskan untuk tetap mendarat meskipun ada indikasi masalah teknis pada roda.
*Tekanan untuk menyelesaikan penerbangan di tengah kondisi darurat mungkin memengaruhi pengambilan keputusan.
3.Cuaca di Bandara Muan
*Meskipun cuaca dilaporkan cukup baik, landasan pacu yang basah akibat hujan sebelumnya dapat menjadi faktor yang memperparah kondisi pendaratan.
Jeju Air dalam Konteks Human Factor
Insiden Jeju Air menggarisbawahi pentingnya memahami human factor dalam keselamatan penerbangan. Tidak semua kesalahan terletak pada kru pesawat, tetapi interaksi manusia dengan teknologi dan sistem pendukung memainkan peran penting.
1. Pengambilan Keputusan dalam Situasi Darurat
Pilot Jeju Air menghadapi dilema besar: apakah mencoba pendaratan darurat atau menunda dan mencari solusi lain.
*Keputusan yang Sulit: Dalam waktu yang sangat terbatas, pilot harus menimbang risiko pendaratan versus risiko melanjutkan penerbangan dengan roda bermasalah.
*Latihan Darurat: Insiden ini menunjukkan pentingnya pelatihan yang lebih intensif untuk membantu kru menghadapi situasi seperti ini.
2. Tekanan Operasional
Musim liburan seperti Desember adalah waktu tersibuk bagi maskapai.
*Jadwal Ketat: Maskapai sering kali menempatkan kru di bawah tekanan untuk menyelesaikan penerbangan sesuai jadwal, yang dapat memengaruhi kualitas pengambilan keputusan.
*Fatigue (Kelelahan): Pilot yang kelelahan mungkin lebih rentan membuat keputusan yang tidak optimal dalam kondisi stres tinggi.
3. Dukungan Teknologi dan Sistem
*Alarm Kegagalan Teknis: Sistem peringatan dini untuk masalah teknis harus lebih jelas dan intuitif, sehingga kru dapat memahami situasi dengan lebih baik.
*Koordinasi dengan Menara Kontrol: Komunikasi antara pilot dan menara kontrol di Bandara Muan mungkin tidak cukup untuk memberikan panduan yang optimal dalam menghadapi situasi darurat.
Kecelakaan pesawat, terutama yang melibatkan dugaan konflik geopolitik, telah meninggalkan luka mendalam dalam sejarah penerbangan. Selain tragedi Korean Air Lines Flight 007 (KAL 007) yang ditembak jatuh oleh Uni Soviet pada 1983, ada insiden lain yang tak kalah tragis, yaitu Malaysia Airlines Flight MH17, yang ditembak jatuh di wilayah udara Ukraina pada 2014.
Kini, laporan terbaru menyebutkan dugaan keterlibatan Rusia dalam insiden Azerbaijan Airlines di Kazakhstan pada Desember 2024. Ketiganya memiliki kesamaan: penerbangan sipil menjadi korban dalam konteks geopolitik yang tegang.Â
 Tragedi KAL/KE 007
Salah satu tragedi penerbangan sipil yang paling terkenal adalah insiden Korean Air Lines Flight 007 (KAL 007) pada 1 September 1983. Pesawat Boeing 747 ini ditembak jatuh oleh jet tempur Soviet setelah secara tidak sengaja memasuki wilayah udara Uni Soviet.
Apa yang Terjadi?
KAL 007 sedang dalam perjalanan dari New York ke Seoul, dengan pemberhentian di Anchorage, Alaska. Akibat kesalahan navigasi, pesawat menyimpang dari jalurnya dan memasuki wilayah udara Soviet di dekat Pulau Sakhalin. Soviet, yang saat itu berada dalam ketegangan Perang Dingin dengan Amerika Serikat, menganggap pesawat itu sebagai ancaman mata-mata.
Jet tempur Soviet menembakkan rudal, menghancurkan pesawat dan menewaskan seluruh 269 penumpang dan awak di dalamnya. Tragedi ini mengejutkan dunia dan menjadi salah satu simbol ketegangan Perang Dingin.
Pelajaran dari KAL 007
1.Human Factor dalam Navigasi
Kesalahan navigasi pada KAL 007 adalah contoh klasik bagaimana human factor dapat memengaruhi keselamatan penerbangan. Sistem autopilot pesawat tidak diatur dengan benar, menyebabkan pesawat menyimpang dari jalur tanpa disadari.
2.Kompleksitas Geopolitik
Dalam situasi geopolitik yang tegang, penerbangan sipil sering kali menjadi korban. KAL 007 ditembak jatuh karena dianggap sebagai ancaman, meskipun sebenarnya hanya sebuah pesawat komersial.
3.Dampak Global
Tragedi ini mendorong perbaikan besar dalam navigasi udara global, termasuk penghapusan zona larangan terbang dan pengembangan sistem navigasi berbasis satelit (GPS).
MH17: Tragedi di Tengah Konflik Ukraina
Pada 17 Juli 2014, Malaysia Airlines Flight MH17, yang terbang dari Amsterdam ke Kuala Lumpur, ditembak jatuh di wilayah udara timur Ukraina yang dikuasai kelompok separatis pro-Rusia. Rudal darat-ke-udara Buk yang ditembakkan dari daratan menghantam pesawat, menewaskan semua 298 penumpang dan awak di dalamnya.
Faktor Geopolitik
MH17 melintasi wilayah udara yang terletak di zona konflik antara Ukraina dan kelompok separatis. Meski otoritas penerbangan internasional telah mengeluarkan peringatan, jalur itu tetap digunakan karena dianggap aman di ketinggian tertentu. Namun, rudal Buk yang ditembakkan memiliki jangkauan jauh di atas ketinggian pesawat komersial.
Pelajaran dari MH17
1.Perlindungan Wilayah Udara
Insiden ini menunjukkan bahwa zona konflik harus benar-benar dihindari oleh penerbangan sipil, tanpa kompromi. Peringatan dan pembatasan wilayah udara harus diperketat untuk mencegah tragedi serupa.
2.Transparansi dalam Penyelidikan
Investigasi yang dilakukan oleh tim internasional mengungkap bahwa rudal Buk yang menembak MH17 berasal dari Rusia. Meskipun Rusia menyangkal keterlibatannya, insiden ini menjadi pengingat pentingnya transparansi dan kerja sama dalam penyelidikan kecelakaan penerbangan.
3.Human Factor dalam Operasi Maskapai
Keputusan untuk tetap menggunakan jalur udara di zona konflik mungkin didasarkan pada penilaian risiko yang tidak memadai. Maskapai harus memiliki kebijakan yang lebih tegas dalam menghindari wilayah udara berisiko.
Kesamaan Antara KAL 007, MH17, dan Azerbaijan Airlines
Ketiga insiden ini memiliki beberapa kesamaan mencolok:
1. Wilayah Udara Berisiko
*KAL 007 melintas di atas wilayah udara Soviet selama puncak Perang Dingin.
*MH17 berada di zona konflik Ukraina timur.
*Azerbaijan Airlines diduga terkena tembakan di wilayah udara Rusia, yang memiliki sejarah ketegangan geopolitik.
Kesamaan dengan Insiden Azerbaijan Airlines, MH17, dan KAL 007
Insiden Jeju Air memiliki beberapa persamaan dengan insiden lain yang baru-baru ini terjadi, termasuk Azerbaijan Airlines, serta tragedi historis seperti MH17 dan KE 007:
1. Pengaruh Human Factor dalam Kondisi Kritis
*Dalam insiden Azerbaijan Airlines, pilot menghadapi cuaca buruk dan mungkin tidak mendapatkan informasi lengkap tentang risiko di wilayah udara Rusia.
*Dalam kasus Jeju Air, pilot menghadapi tekanan besar untuk membuat keputusan di tengah kegagalan teknis.
2. Tekanan Eksternal
*Tekanan untuk tetap menyelesaikan penerbangan sesuai jadwal terlihat dalam insiden Jeju Air.
*Dalam konteks geopolitik, seperti MH17 dan KAL 007, tekanan yang dihadapi adalah risiko konflik dan dinamika politik internasional.
3. Kebutuhan akan Transparansi dan Investigasi Menyeluruh
Semua insiden ini membutuhkan investigasi menyeluruh untuk mengidentifikasi penyebab dan mencegah insiden serupa di masa depan.
Pelajaran Penting dari Insiden Jeju Air
1. Perbaikan Prosedur Darurat
Maskapai harus terus meningkatkan pelatihan kru untuk menghadapi situasi darurat. Simulasi intensif dapat membantu pilot dan awak membuat keputusan yang lebih baik dalam situasi berisiko tinggi.
2. Peningkatan Teknologi Pesawat
*Sistem Peringatan Kegagalan Teknis: Teknologi yang lebih akurat dapat membantu kru memahami tingkat keparahan masalah.
*Pengendalian Risiko di Landasan Pacu: Bandara juga harus memastikan kondisi landasan pacu yang aman, terutama dalam cuaca buruk.
3. Mengelola Tekanan Operasional
Maskapai harus mengutamakan keselamatan di atas jadwal, bahkan jika itu berarti menunda penerbangan atau mengalihkan rute.
4. Kolaborasi Internasional
*Maskapai, bandara, dan otoritas penerbangan internasional harus bekerja sama untuk meningkatkan keselamatan penerbangan.
*Belajar dari insiden di negara lain, seperti MH17 dan KAL 007, dapat membantu mencegah tragedi serupa.
Kesimpulan: Melindungi Penerbangan Sipil di Masa Depan
Insiden Jeju Air, bersama dengan Azerbaijan Airlines, MH17, dan KAL 007, menunjukkan bahwa keselamatan penerbangan adalah tantangan kompleks yang melibatkan teknologi, manusia, dan sistem pendukung.
Human factor tetap menjadi elemen kunci, tetapi kesalahan tidak seharusnya hanya ditimpakan pada kru. Keselamatan penerbangan adalah tanggung jawab bersama---maskapai, bandara, dan otoritas penerbangan harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik dalam kondisi darurat.
Dengan pembelajaran dari insiden-insiden ini, kita dapat bekerja menuju dunia penerbangan yang lebih aman, di mana setiap penerbangan sipil dilindungi dengan sepenuh hati dan perhatian. Karena di balik setiap insiden, ada nyawa yang tak ternilai harganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H