Mohon tunggu...
Opick Ridlo
Opick Ridlo Mohon Tunggu... profesional -

Beri aku pedang, maka akan kumenangkan pertempuran.\r\nBeri aku pena, maka akan kutaklukkan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Agama Bapakku

5 Juni 2013   22:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:28 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Roji!!!” gelegar suara bapakku dari dalam rumah. Tegas, keras, singkat. Tak pernah bapak memanggilku dengan nada “i” panjang di akhir namaku. Roji, selalu begitu saja. Padahal nama asliku Rozi, tapi lidah bapakku mengubahnya menjadi Roji. Kedengarannya seperti “Ruji”.

“Iya, Pak. Saya datang,” seruku berlari-lari. Pasti ada lagi yang salah dariku. Sedikit saja ditunda, rotan atau tongkat kayu akan melayang di atas tubuhku. Berkali-kali itu terjadi, bahkan selalu.

“Kamu tahu sekarang jam berapa???” gemuruh suara bapakku membuat angin berhenti bertiup. Gaduh kendaraan yang tadi terdengar tiba-tiba senyap. Dunia berhenti berputar sejenak. Tunduk pada kuasa bapakku.

Aku diam menunduk. Di tangan bapak tergenggam sebatang rotan panjang. Meski badanku cukup besar, aku selalu merasa kerdil di depan bapakku. Nyaliku terbang melayang seketika.

“Kamu tahu jam berapa sekarang???” bentak bapakku garang. Kaca-kaca jendela ikut gemetar dan berderak-derak akibat suara barusan.

Aku diam, tak berani membuka suara. Keliru menjawab pasti hukuman bertambah berat. Aku pernah dikurung dan tidak diberi makan hanya gara-gara itu. Diam itu emas, begitulah pepatah yang diajarkan di sekolah.

“Ini sudah jam 1 siang!! Kamu tadi tidak sholat jamaah di mushola! Ke mana saja kamu hah???”

Sedetik kemudian tangannya teracung ke atas. Lalu telingaku menangkap suara udara berciut cepat diikuti beradunya rotan dengan paha kiriku. Nyeri sekali! Kukatupkan bibir menahannya. Meskipun sudah sering kualami, tetap saja nyerinya terasa menembus sampai sumsum tulang. Bekas merah memanjang akibat pukulan itu baru akan hilang 4-5 hari.

Lima kali pukulan itu menghujani tubuhku. Aku tak pernah diberi hak membela diri. Selalu vonis bersalah dengan hukuman yang ditentukan jauh sebelum menghadap sang hakim, yaitu bapakku.

Luar biasa nyerinya! Tapi aku tak boleh menangis. Haram hukumnya laki-laki menangis, kata bapakku berulang-ulang. Petuah itu tertanam hingga aku pun benci kecengengan.

Aku benci pada teman-teman sekolah yang menangis saat kupukul. Mereka cengeng. Aku jadi sering dimarahi guru. Kubilang mereka semua cengeng, guruku bertambah marah. Aku heran, apakah guruku juga cengeng?


* * *


Umurku 12 tahun.

Bapak selalu bilang, “Kamu tidak boleh durhaka pada orang tua. Durhaka pada orang tua adalah dosa paling dibenci Tuhan.” Bapak mengatakan itu sambil duduk di atas kursi, menyeruput kopinya yang mulai dingin. Satu kakinya disilangkan di atas kaki lainnya.

Aku mendengarkan dengan khidmat sambil duduk di lantai, diam menunduk. Seperti lukisan zaman dulu yang kulihat dari buku, tentang rakyat jelata dalam tradisi feodal. Mungkin inilah feodalisme gaya bapakku.

Bapak bilang sholat itu menghadap Tuhan. Tapi aku tak pernah bertemu Tuhan. Pertama kali sholat aku langsung bertanya, ”Apakah Tuhan tinggal di gambar ka’bah yang ada di sajadah?”

Bapakku yang sedang bersila mengucap wirid tiba-tiba berhenti. Aku dibilang syirik, menyamakan Tuhan dengan benda mati. Bapak langsung memukulku. Tidak terlalu keras memang, tapi itulah pertama kali kurasakan pukulan bapakku.

Tuhan Maha Kuasa, itulah kata bapakku. Tuhan juga pencipta langit dan bumi. Tapi di sekolah, guruku bilang bahwa bumi serta matahari terbentuk lima milyar tahun lalu. Jagat raya terbentuk dari sebongkah gas luar biasa padat yang akhirnya meledak. Ledakan besar, Big Bang. Ledakan itu menjadi bumi, matahari, bintang, serta planet-planet.

Keterangan guruku itu kutanyakan pada ibu, tapi ibu menjawab tidak tahu. Aku lalu bertanya pada bapak. Bapak bilang guruku komunis. Apa itu komunis, tanyaku. Komunis itu tidak percaya pada Tuhan. Komunis adalah pengkhianat bangsa. Bapak lalu menerangkan bahwa orang-orang komunis hidup kekal di neraka. Aku mengangguk-angguk mengerti. Itulah pertama kali aku mengagumi bapakku. Bayangkan, bapakku lebih pintar dari guruku!

Sejak itu aku tak gampang percaya pada guruku. Di kelas, aku asyik bermain-main sendiri. Kadang kuganggu teman yang mendengarkan penjelasan dari guru. Suatu ketika temanku, Fahri, jengkel dengan ulahku. Lalu dia melapor pada Bu Aisha yang sedang mengajar.

“Cengeng!” ejekku pada Fahri.

“Rozi! Berdiri di depan kelas!” Bu Aisha memanggilku tegas.

Aku tak takut sama sekali pada Bu Aisha. Aku cuma takut pada bapak. Percuma saja, toh Bu Aisha cuma perempuan. Perempuan bisa apa, paling-paling cuma menangis.

Aku berdiri di depan kelas. Tidak merasa bersalah.

“Kenapa kamu mengganggu temanmu, Rozi?” tanya Bu Aisha. Nadanya lembut, tidak setegas ketika memanggilku tadi.

“Saya tidak ada kerjaan, Bu,” jawabku acuh. Kedengarannya seperti tantangan. Tak heran Bu Aisha terpana mendengarnya. Tidak menyangka keluar jawaban seperti itu.

“Bukankah kamu sudah tahu bahwa di kelas harus diam dan mendengarkan penjelasan dari gurumu? Kamu juga tidak boleh mengganggu temanmu,” jelasnya masih lembut.

“Kata-kata ibu tidak bisa dipercaya.” Bu Aisha kembali terpana, kali ini lebih lama. Bingung bercampur heran.

“Rozi, tidak baik bicara seperti itu. Siapa yang mengajari kamu?”

“Bapak yang melarang saya percaya pada orang komunis. Ibu bilang matahari dan bumi tercipta dari gas yang meledak. Padahal semua ini kan ciptaan Tuhan. Berarti ibu syirik, tidak percaya Tuhan. Ibu komunis!”

Air muka Bu Aisha merah padam. Salah tingkah, bingung menjawab. Entah apa yang mengisi benaknya. Dia cuma mengelus dada hilang kata-kata.

Aku semakin yakin pada bapakku. Ternyata Bu Aisha memang syirik dan komunis. Buktinya dia tidak berusaha membantahku. Lihatlah wajahnya yang malu dan merah padam. Berarti yang kukatakan tadi benar.

Bapakku memang luar biasa. Semua orang kampung juga menghormatinya. Bapak biasa memberi khotbah saat sholat Jumat. Kadang-kadang diundang memberi ceramah pengajian. Kampung-kampung sebelah juga sering mengundang bapak. Bahkan pernah lima kali bapakku diundang mengisi pengajian di luar kota. Bapak pandai sekali menyitir ayat suci atau hadits. Itulah sebabnya semua orang tunduk dan tidak berani membantahnya.

Sejak umur 6 tahun aku belajar mengaji. Kata bapak, kitab suci berisi ilmu yang tiada habisnya. Aku rajin mengaji meskipun tidak mengerti artinya. Ketika agak besar, mulai kubuka-buka terjemahan kitab suci. Ternyata tetap saja aku tak mengerti. Tapi aku masih rajin mengaji. Aku hanya ingin meniru bapakku. Siapakah orangnya yang tidak meniru bapakku, orang yang alim dan dihormati penduduk kampung?

Dulu aku sering bertanya macam-macam tentang agama. Bapak menasihatiku, tidak pantas mempertanyakan ajaran Tuhan yang amat mulia dan sempurna. Itu sama dengan menghina agama. Sejak peristiwa dengan Bu Aisha, aku percaya penuh pada bapakku. Kata-kata bapak adalah kebenaran. Aku harus mengikutinya.


* * *


Umurku sekarang 30 tahun. Bapakku sudah mati bertahun-tahun lalu. Akulah sekarang penggantinya sebagai ustadz kampung. Aku telah mewarisi ilmu-ilmu agama bapakku. Penduduk tak kuasa menolakku.

Anak-anak mengaji di mushola di bawah bimbinganku. Aku mengajar mereka sebagaimana bapakku dulu mengajariku. Rotan panjang kubawa. Selalu ada anak yang kena sabetanku. Anak-anak menangis kesakitan. Tapi tangis tak menghentikanku, tak akan pernah. Itu malah membuatku marah. Kupukul lagi mereka berkali-kali. Akhirnya memang berhasil. Mereka semua diam, patuh mendengarkanku. Persis waktu aku seumur mereka. Bapakku memang benar, bapakku selalu benar.

Ketika masih hidup Bapak pernah berkata, “Penjahat-penjahat itu bisanya cuma mengotori dunia.” Sejak itu aku pun geram pada semua makhluk berlabel penjahat.

Pernah seorang pencuri ayam ketahuan dan kutangkap.

“Ampun, Pak...!” pintanya gemetar dan memelas. “Anak saya sakit di rumah. Saya butuh uang mengobatkan anak saya, Pak.”

Tubuhnya kurus kering, uban bermunculan di antara riap-riap rambutnya. Matanya sayu, berkaca-kaca. Tangannya menangkup di dada, menyembah-nyembah, mencium kakiku. Tetangga mulai berdatangan.

Itulah saat kulaksanakan ‘titah’ bapakku. Kuhujamkan bogem mentah ke wajahnya. Dia mengaduh kesakitan, lalu merintih menyayat telinga. Aku tak peduli. Kupukul dia berkali-kali hingga darah mengucur dari hidung, bibir, dan pelipisnya. Tanganku mulai berlumuran darahnya. Beberapa percik darah mengotori bajuku. Kedua matanya lebam kehitaman. Aku masih belum puas, kuhajar terus pencuri itu hingga aku kelelahan. Aku tak peduli tatapan para tetangga yang ngeri. Waktu polisi datang, nafasnya tinggal satu-satu. Kelihatannya mau mati. Puas rasanya menyingkirkan satu penjahat dari muka bumi.

Para pezinah juga tak luput kuhajar, tak peduli perempuan atau lelaki. Mereka tak ubahnya orang ‘Aad di zaman Luth. Mereka dikutuk Tuhan.

Tindakanku menjadi gunjingan. Akhirnya, suatu hari tak kulihat satu pun anak yang datang mengaji di mushola. Penduduk tak ada yang berjamaah. Mushola kosong tak berpenghuni.

Aku sedih, penduduk kampungku telah murtad menjauhi agama. Jiwa mereka terkotori angkara murka dan nafsu dunia.

Kudatangi penduduk satu persatu. Tapi mereka langsung menjauh begitu melihatku. Berkali-kali itu terjadi. Aku dikucilkan. Disapa pun tidak. Entah apa yang membuat mereka berlaku seperti itu.

Bapakku pernah bilang, orang yang memperjuangkan kebenaran pasti diasingkan dan dikucilkan. Inilah aku yang diasingkan dan dikucilkan. Aku lantas teringat Nabi yang dilempari batu dan dicaci maki penduduk Thaif ketika menyampaikan dakwah.

“Ahh…Nabi adalah sebaik-baik teladan,” desahku lirih, prihatin.


* * *


Suatu malam, kulihat seseorang mengendap-endap. Wajahnya tertutup kain sarung layaknya ninja. Tangannya menggenggam golok yang berkilat-kilat memantulkan cahaya rembulan.

Perampok!

Akhir-akhir ini semakin banyak berita perampokan di koran dan televisi. Mereka membuat resah masyarakat. Darahku langsung mendidih marah. Kuambil belati, lalu bersembunyi.

Perampok itu bergerak mendekat. Langkahnya lirih mengendap-endap, nyaris tanpa suara. Embusan nafasnya tertangkap pelan oleh telingaku. Gerak tubuhnya tertangkap tanah di bawahnya, bayangan akibat sinar rembulan. Seluruh tubuhku bersiaga penuh menanti.

Saat berjarak satu meter di sampingku, tanganku langsung bergerak cepat. Kutikam punggungnya dengan belati. Dia tersungkur. Kuhujamkan belati yang berlumuran darah ke perutnya, berkali-kali.

Tak sempat dia berteriak, hanya suara menggeram panjang dari tenggorokan dengan mata mendelik memegangi perutnya yang terburai. Beberapa saat kemudian tubuhnya terkulai layu, mati.

Tapi…! Tiba-tiba kurasakan perih di dada kiri. Panas. Dalam gerak yang tak tertangkap mata tadi, sesuatu yang dingin terasa menembus kulit, otot, paru-paru, serta jantungku. Benda itu terus menembus, lalu menyeruak kasar, merobek-robek isi dadaku. Belatiku jatuh berdentang di lantai, memecah keheningan malam.

Jari-jariku terangkat meraba, sebatang besi tajam runcing menembus dada kiriku. Darah mengucur perlahan. Tiba-tiba saja tubuhku terasa ringan, seperti akan terbang. Mataku berkunang-kunang gelap. Tubuhku ambruk kehilangan tenaga, lalu tak sadar. Entah apa yang terjadi kemudian.

Seminggu kemudian penduduk menemukan sesosok tubuh yang membusuk tak bernyawa di dalam mushola. Tubuh sang ustadz kampung, tubuhku.


Surabaya, 18 Februari 2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun