* * *
Umurku 12 tahun.
Bapak selalu bilang, “Kamu tidak boleh durhaka pada orang tua. Durhaka pada orang tua adalah dosa paling dibenci Tuhan.” Bapak mengatakan itu sambil duduk di atas kursi, menyeruput kopinya yang mulai dingin. Satu kakinya disilangkan di atas kaki lainnya.
Aku mendengarkan dengan khidmat sambil duduk di lantai, diam menunduk. Seperti lukisan zaman dulu yang kulihat dari buku, tentang rakyat jelata dalam tradisi feodal. Mungkin inilah feodalisme gaya bapakku.
Bapak bilang sholat itu menghadap Tuhan. Tapi aku tak pernah bertemu Tuhan. Pertama kali sholat aku langsung bertanya, ”Apakah Tuhan tinggal di gambar ka’bah yang ada di sajadah?”
Bapakku yang sedang bersila mengucap wirid tiba-tiba berhenti. Aku dibilang syirik, menyamakan Tuhan dengan benda mati. Bapak langsung memukulku. Tidak terlalu keras memang, tapi itulah pertama kali kurasakan pukulan bapakku.
Tuhan Maha Kuasa, itulah kata bapakku. Tuhan juga pencipta langit dan bumi. Tapi di sekolah, guruku bilang bahwa bumi serta matahari terbentuk lima milyar tahun lalu. Jagat raya terbentuk dari sebongkah gas luar biasa padat yang akhirnya meledak. Ledakan besar, Big Bang. Ledakan itu menjadi bumi, matahari, bintang, serta planet-planet.
Keterangan guruku itu kutanyakan pada ibu, tapi ibu menjawab tidak tahu. Aku lalu bertanya pada bapak. Bapak bilang guruku komunis. Apa itu komunis, tanyaku. Komunis itu tidak percaya pada Tuhan. Komunis adalah pengkhianat bangsa. Bapak lalu menerangkan bahwa orang-orang komunis hidup kekal di neraka. Aku mengangguk-angguk mengerti. Itulah pertama kali aku mengagumi bapakku. Bayangkan, bapakku lebih pintar dari guruku!
Sejak itu aku tak gampang percaya pada guruku. Di kelas, aku asyik bermain-main sendiri. Kadang kuganggu teman yang mendengarkan penjelasan dari guru. Suatu ketika temanku, Fahri, jengkel dengan ulahku. Lalu dia melapor pada Bu Aisha yang sedang mengajar.
“Cengeng!” ejekku pada Fahri.
“Rozi! Berdiri di depan kelas!” Bu Aisha memanggilku tegas.