Mohon tunggu...
Opick Ridlo
Opick Ridlo Mohon Tunggu... profesional -

Beri aku pedang, maka akan kumenangkan pertempuran.\r\nBeri aku pena, maka akan kutaklukkan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Agama Bapakku

5 Juni 2013   22:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:28 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


* * *


Umurku 12 tahun.

Bapak selalu bilang, “Kamu tidak boleh durhaka pada orang tua. Durhaka pada orang tua adalah dosa paling dibenci Tuhan.” Bapak mengatakan itu sambil duduk di atas kursi, menyeruput kopinya yang mulai dingin. Satu kakinya disilangkan di atas kaki lainnya.

Aku mendengarkan dengan khidmat sambil duduk di lantai, diam menunduk. Seperti lukisan zaman dulu yang kulihat dari buku, tentang rakyat jelata dalam tradisi feodal. Mungkin inilah feodalisme gaya bapakku.

Bapak bilang sholat itu menghadap Tuhan. Tapi aku tak pernah bertemu Tuhan. Pertama kali sholat aku langsung bertanya, ”Apakah Tuhan tinggal di gambar ka’bah yang ada di sajadah?”

Bapakku yang sedang bersila mengucap wirid tiba-tiba berhenti. Aku dibilang syirik, menyamakan Tuhan dengan benda mati. Bapak langsung memukulku. Tidak terlalu keras memang, tapi itulah pertama kali kurasakan pukulan bapakku.

Tuhan Maha Kuasa, itulah kata bapakku. Tuhan juga pencipta langit dan bumi. Tapi di sekolah, guruku bilang bahwa bumi serta matahari terbentuk lima milyar tahun lalu. Jagat raya terbentuk dari sebongkah gas luar biasa padat yang akhirnya meledak. Ledakan besar, Big Bang. Ledakan itu menjadi bumi, matahari, bintang, serta planet-planet.

Keterangan guruku itu kutanyakan pada ibu, tapi ibu menjawab tidak tahu. Aku lalu bertanya pada bapak. Bapak bilang guruku komunis. Apa itu komunis, tanyaku. Komunis itu tidak percaya pada Tuhan. Komunis adalah pengkhianat bangsa. Bapak lalu menerangkan bahwa orang-orang komunis hidup kekal di neraka. Aku mengangguk-angguk mengerti. Itulah pertama kali aku mengagumi bapakku. Bayangkan, bapakku lebih pintar dari guruku!

Sejak itu aku tak gampang percaya pada guruku. Di kelas, aku asyik bermain-main sendiri. Kadang kuganggu teman yang mendengarkan penjelasan dari guru. Suatu ketika temanku, Fahri, jengkel dengan ulahku. Lalu dia melapor pada Bu Aisha yang sedang mengajar.

“Cengeng!” ejekku pada Fahri.

“Rozi! Berdiri di depan kelas!” Bu Aisha memanggilku tegas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun