Tindakanku menjadi gunjingan. Akhirnya, suatu hari tak kulihat satu pun anak yang datang mengaji di mushola. Penduduk tak ada yang berjamaah. Mushola kosong tak berpenghuni.
Aku sedih, penduduk kampungku telah murtad menjauhi agama. Jiwa mereka terkotori angkara murka dan nafsu dunia.
Kudatangi penduduk satu persatu. Tapi mereka langsung menjauh begitu melihatku. Berkali-kali itu terjadi. Aku dikucilkan. Disapa pun tidak. Entah apa yang membuat mereka berlaku seperti itu.
Bapakku pernah bilang, orang yang memperjuangkan kebenaran pasti diasingkan dan dikucilkan. Inilah aku yang diasingkan dan dikucilkan. Aku lantas teringat Nabi yang dilempari batu dan dicaci maki penduduk Thaif ketika menyampaikan dakwah.
“Ahh…Nabi adalah sebaik-baik teladan,” desahku lirih, prihatin.
* * *
Suatu malam, kulihat seseorang mengendap-endap. Wajahnya tertutup kain sarung layaknya ninja. Tangannya menggenggam golok yang berkilat-kilat memantulkan cahaya rembulan.
Perampok!
Akhir-akhir ini semakin banyak berita perampokan di koran dan televisi. Mereka membuat resah masyarakat. Darahku langsung mendidih marah. Kuambil belati, lalu bersembunyi.
Perampok itu bergerak mendekat. Langkahnya lirih mengendap-endap, nyaris tanpa suara. Embusan nafasnya tertangkap pelan oleh telingaku. Gerak tubuhnya tertangkap tanah di bawahnya, bayangan akibat sinar rembulan. Seluruh tubuhku bersiaga penuh menanti.
Saat berjarak satu meter di sampingku, tanganku langsung bergerak cepat. Kutikam punggungnya dengan belati. Dia tersungkur. Kuhujamkan belati yang berlumuran darah ke perutnya, berkali-kali.