Mohon tunggu...
Tatiek R. Anwar
Tatiek R. Anwar Mohon Tunggu... Penulis - Perajut aksara

Penulis novel Bukan Pelaminan Rasa dan Sebiru Rindu serta belasan antologi, 2 antologi cernak, 3 antologi puisi. Menulis adalah salah satu cara efektif dalam mengajak pada kebaikan tanpa harus menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Di Batas Waktu

25 Mei 2024   05:30 Diperbarui: 17 Juni 2024   10:57 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay

Fathir mengekori langkah lebar ayahnya, Denny. Baru malam ini Denny pulang setelah tiga hari pergi tanpa kabar. Bukan sekali ini saja Denny melakukan hal itu, bahkan tidak jarang ia pulang dalam keadaan mabuk.

"Kamu tau apa?" Denny berhenti melangkah, lalu menghadapkan wajah ke arah anak semata wayangnya. "Selama ini kamu selalu mendapatkan apa yang kamu mau. Lalu, kenapa sekarang melarang apa yang Papa suka?" Denny kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar.

"Tapi, Pa, bukan begini caranya. Kasihan Mama."

Baca juga: Aku adalah Waktu

"Kenapa Papa harus mengasihani perempuan itu? Biarlah dia pergi bersama lelaki idamannya," sahut Denny gusar.

"Kalau saja Papa tahu keadaan Mama yang sebenarnya ...."

"Jangan sebut lagi perempuan itu, Fathir! Dia tidak pantas menjadi ibumu!"

"Pa! Dengar Fathir dulu!" Kali ini mahasiswa ekonomi semester tiga itu meninggikan suaranya. Ia tidak rela ibunya dilabeli buruk, meskipun itu oleh ayah yang dulu sangat dekat dengannya.

Fathir merebut tas jinjing berisi tiga botol minuman keras yang ayahnya bawa. Namun, Denny memegangnya dengan erat.  Adu tarik yang sama kuat, menyebabkan tali tas berbahan spunbond itu putus.

 Akibatnya, botol-botol minuman itu jatuh dan pecah sehingga menimbulkan suara berisik. Seketika aroma alkohol menyeruak memenuhi udara. Spontan tangan kanan Denny terangkat dan melayang di pipi kiri Fathir.

"Akh!" Fathir berteriak menahan panas yang menjalar di pipinya. Seketika wajah putihnya memerah dan tanpa bisa ditahan, setetes air bening keluar dari matanya.

Denny tak kalah kagetnya. Selama ini ia tak pernah sedikit pun menggunakan tangan untuk menyakiti putranya, tetapi, ego dan emosi telah menguasainya.

"Kamu enggak tahu berapa uang yang Papa keluarkan untuk mendapatkan minuman itu, kan?!" ucapnya meradang.

"Aku tau, Pa. Harga minuman itu setara dengan makan kita beberapa hari, kan?"

"Bahkan, yang Papa beli sama seperti biaya makan kita sebulan. Apa kamu bisa menggantinya?!" teriak Denny sambil melotot. "Dan kamu tidak meminta maaf."

"Aku tidak bersalah. Aku bersyukur Papa tidak bisa menikmati minuman laknat itu."

Kemarahan Denny memuncak. Ia mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Namun, tangannya terhenti di udara ketika dilihatnya Fathir memperpendek jarak dan membusungkan dada.

"Pukul, Pa. Pukul aku sampai puas." Mata cokelat pemuda itu berkaca-kaca menampakkan luka dan membuat Denny mengurungkan niatnya.

"Pergilah, sebelum Papa bertambah marah."

Fathir melangkah meninggalkan sang ayah dengan gontai. Namun, baru lima langkah, Fathir berhenti. "Mama meninggalkan Papa karena cinta," ucapnya tanpa menoleh sedikit pun.

Denny tak peduli. "Mana ada cinta kalau ia pergi untuk lelaki lain," gumamnya.

Setibanya di kamar, Denny menjatuhkan dirinya ke pembaringan. Matanya nanar menatap langit-langit kamar. Pikirannya mengembara pada peristiwa setahun yang lalu.

Kala itu ia bertemu dengan Rezy, pengusaha penyuplai kulit sapi, pada pameran UMKM yang diadakan Kementrian Perindustrian.

Perkenalan mereka berlanjut ke transaksi bisnis. Denny memesan kulit sapi sebanyak 50 lembar kepada Rezy. Dari pesanan pertama, Denny merasa puas dengan kualitas kulit sapi dari Rezy. Pesanan kulit meningkat seiring permintaan pelanggan aksesoris brand miliknya.

"Pak Denny, gimana kalau menanam saham aja di perusahaan kami? Selain mendapatkan bagi hasil, Pak Denny juga akan mendapat keuntungan karena mendapatkan kulit sapi dengan harga terbaik."

"Saya belum siap karena modalnya masih terpakai untuk perputaran usaha."

"Tak usah khawatir, Pak. Ada banyak bank yang bisa memberikan pinjaman. Bukankah bulan depan ada event nasional? Bulan berikutnya pameran internasional di Jepang. Jalan untuk memperkenalkan Dennia Leather hingga ke mancanegara terbuka lebar," ucap Rezy.

"Saya enggak berani, Pak."

"Bukankah kunci sukses pengusaha adalah sikap optimis? Masa Pak Denny gak yakin."

Denny terdiam beberapa saat, hingga akhirnya ia berkata, "Oke, nanti saya pertimbangkan."

***

Berhari-hari kemudian Denny membicarakan rencananya dengan sang istri. Namun, Kania tetap tidak menyetujuinya.

"Percayalah, Dek. Abang yakin kita bisa membayar cicilan dengan rutin."

"Aku yakin usaha kita akan besar, Bang. Tapi, bukan dengan harta riba," ucap Kania.

"Kita akan selalu keluarkan zakatnya, bahkan ditambah infak untuk masjid dan kegiatan sosial lainnya."

"Harta hasil riba enggak bisa dihapus dengan zakat dan infak, Bang. Itu sama aja kayak membersihkan kotoran dengan air kencing, bertambahlah kekotorannya."

"Tapi, Dek, kapan lagi? Kesempatan enggak akan datang dua kali." Denny menghembuskan nafas kasar. 

"Pola pikirmu berubah sejak kamu rajin ikut kajian ustadz idola ibu-ibu di komplek sebelah."

"Bukan begitu, Bang. Ustadz itu ...."

"Sudahlah!" Denny meninggalkan Kania dengan wajah tertekuk.

***

Sebelum berangkat ke pabrik miliknya, Denny mengecek kembali laporan keuangan sebulan terakhir. Ia tersenyum puas. Tidak sia-sia ia mengajukan pinjaman. Brand aksesoris kulit miliknya mulai dikenal hingga ke mancanegara sehingga jumlah pesanan meningkat drastis.

Ia menutup laporan keuangan itu dan meletakkannya di atas meja. Baru selangkah ia meninggalkan ruang kerja, ponselnya berbunyi. Budiman, asisten kepercayaannya, menelepon. Namun, beberapa detik kemudian, wajah Denny yang semula semringah berubah panik.

Terburu-buru Denny menuju garasi. Begitu berada di belakang kemudi, ia membunyikan klakson berkali-kali. Mbak Min yang sedang menyiram tanaman, tergopoh-gopoh membuka pintu pagar. Denny melajukan kendaraannya begitu pintu pagar terbuka. Tak ia pedulikan panggilan istrinya yang setengah berlari mengejar mobilnya.

Satu jam kemudian, Denny sampai di pabrik Dennia Leather yang sudah hangus terbakar. Denny terduduk lemas melihat  ratusan lembar kulit sapi, ratusan tas serta aksesoris yang hampir selesai, dan mesin-mesin produksi yang hangus dilalap api.

Denny mengalami kerugian hingga miliaran rupiah. Karyawan-karyawannya terpaksa dirumahkan. Denny harus menjual mobil mewahnya untuk membayar pesangon para karyawan. Tidak hanya itu, Rezy yang sudah ia percaya, ternyata membawa kabur uangnya hingga ratusan juta.

Denny yang terbiasa hidup mewah, mengalami guncangan. Ia lari pada minuman memabukkan untuk menenangkan pikiran. Ia terperangkap dalam judi, berharap uang yang sedikit bisa beranak pinak. Barang berharga miliknya satu per satu ia jual untuk memenuhi hobi barunya yang menghabiskan banyak uang.

Sebenarnya masih ada satu toko yang menjual barang-barang hasil produksi Dennia Leather. Namun ketika masa kontrak toko itu habis, barang-barang yang tersisa diobral karena Denny tak bisa memperpanjang kontraknya. Ia pun harus merelakan rumah mewahnya untuk membayar pinjaman.

Denny sudah tidak memedulikan lagi kebutuhan makan keluarga dan anaknya. Bahkan, ia tak menyadari, semakin hari Kania semakin kurus dan pucat. Hingga suatu ketika, mertua Denny datang menjemput Kania tanpa meminta izin darinya.

Dari dalam kamar Denny mendengar ibu mertuanya mengomel kepada Kania.
"Coba dari dulu kamu mendengarkan Mama. Sebagai ibu, Mama tahu laki-laki yang terbaik untukmu. Sekarang lebih baik kamu ikut Mama."

Denny tak mendengar penolakan dari Kania. Akan tetapi, ketika ibu mertua mengajak Fathir serta, Denny mendengar dengan jelas penolakan halus putranya.

Dan kini, sudah tiga bulan Kania tinggal bersama orang tuanya. Tak pernah sekali pun Denny menanyakan kabar istrinya, ataupun sebaliknya. Mungkin Kania sudah dijodohkan dengan pria pilihan ibunya yang kabarnya telah menduda itu. Ah, Persetan! Ia sudah tidak peduli.

Kenangan-kenangan pahit yang berputar di kepala Denny membuatnya lelah. Pengaruh alkohol yang diminumnya tadi siang juga membuatnya pusing, sehingga akhirnya ia pun terlelap.

***

Suara ketukan keras pintu kamar membuat Denny terbangun. Kepalanya terasa berat. Ketukan itu semakin keras dan ritmenya makin cepat. Sepertinya sudah lama orang di balik pintu itu melakukannya. Dengan langkah limbung, Denny menuju pintu dan membukanya.

Wajah cemas Fathir yang pertama ia temui begitu pintu terbuka.
"Pa, Mama pingsan. Sekarang sudah berada di ruang ICU." Fathir menjelaskan dengan gugup saking khawatirnya.

Meskipun masih bingung, Denny tidak menolak ketika Fathir menggandeng tangannya. Mereka segera menuju rumah sakit dengan taksi yang sudah dipesan Fathir.

Tak sampai satu jam mereka sampai di RS Asy-Syifa, tempat Kania dirawat. Mereka segera menuju ke ruang ICU. Namun, keluarga tidak diperbolehkan masuk. Mereka hanya bisa melihat Kania melalui jendela kaca.

Timbul rasa iba di hati Denny ketika melihat Kania. Tubuhnya lebih kurus dan pucat sejak terakhir mereka bertemu. Seketika rasa bersalah menyergapnya. "Dek, kamu sakit apa? Maafkan Abang yang tidak bisa menjagamu sampai tidak tahu kalau kamu sedang sakit," bisik hati Denny.

Namun, Denny masih menyimpan kecewa karena Kania meninggalkannya begitu saja. Egonya sebagai suami belum bisa menerima pengabaian sang istri.

Pukul 11.20 WIB, seorang lelaki berusia 40-an tahun datang. Saat bersalaman dan menyebut namanya, Denny tahu dialah ustadz yang sering dibicarakan istrinya.

Hakim menceritakan bahwa ia adalah saudara sepersusuan Kania yang selama ini kuliah di Mesir hingga meraih gelar doktor.

"Hakim ini kesayangan Mama," tutur Pak Wibowo, ayah Kania. "Sejak remaja dia memang digilai banyak gadis karena kegantengan dan kecerdasannya."

"Ah, Papa ini terlalu berlebihan," sahut Hakim.

Menjelang ashar, lelaki berwajah teduh itu pamit karena ia ada jadwal mengajar.

Seharian Fathir, Denny, dan kedua orang tua Kania menunggu. Akan tetapi, tidak ada tanda-tanda kalau Kania akan sadar dari komanya. Mereka tidak meninggalkan ruang tunggu kecuali untuk salat, makan, dan ke toilet. Itu pun dilakukan secara bergantian.

Wibowo memberi tahu Denny bahwa Kania terserang leukemia. Ia dan istrinya berulang kali meminta putrinya untuk memberi tahu Denny. 

Namun, Kania melarang dengan alasan tidak ingin menambah beban suaminya. Denny tertegun ketika mengetahui bahwa yang dilakukan Kania bukan meninggalkannya begitu saja, tetapi sebagai perwujudan cinta kepadanya.

Fathir menepuk bahu ayahnya pelan. Ia mengingatkan bahwa waktu isya telah tiba dan mengajaknya ke musala rumah sakit. Denny mengangguk, lalu berjalan di samping Fathir.

Kali ini air wudu yang membasuh anggota badan Denny begitu menyejukkan hingga ke relung hati.

"Allah, betapa lamanya aku meninggalkan-Mu," batinnya pilu. 

Dalam doanya, ia memohon kepada Sang Pemilik Jiwa agar diberi kesempatan untuk bertaubat dan berjanji untuk merawat kekasihnya sepenuh hati. Ia akan menebus semua kesalahannya dan memperbaiki diri agar menjadi suami dan ayah yang baik.

Namun, begitu mereka kembali dari ruang ICU, Denny melihat ayah mertuanya sedang mengguncang-guncangkan bahu sang istri. Lalu, tangannya yang gemetar, meraba-raba pergelangan tangan istrinya yang terkulai lemas. Kabar dari dokter yang mengatakan bahwa Kania telah kembali kepada Sang Pencipta, membuat ibu mertua Denny pingsan.

Pena telah diangkat dan tinta takdir telah kering dituliskan. Kepergian sang kekasih seketika memorakporandakan impian Denny. Kepedihan dirasakan hingga palung hatinya. Separuh jiwa Denny seakan-akan tercerabut, meninggalkan ruang sepi yang menggigit perasaannya.

~ Selesai ~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun