"Aku yakin usaha kita akan besar, Bang. Tapi, bukan dengan harta riba," ucap Kania.
"Kita akan selalu keluarkan zakatnya, bahkan ditambah infak untuk masjid dan kegiatan sosial lainnya."
"Harta hasil riba enggak bisa dihapus dengan zakat dan infak, Bang. Itu sama aja kayak membersihkan kotoran dengan air kencing, bertambahlah kekotorannya."
"Tapi, Dek, kapan lagi? Kesempatan enggak akan datang dua kali." Denny menghembuskan nafas kasar.Â
"Pola pikirmu berubah sejak kamu rajin ikut kajian ustadz idola ibu-ibu di komplek sebelah."
"Bukan begitu, Bang. Ustadz itu ...."
"Sudahlah!" Denny meninggalkan Kania dengan wajah tertekuk.
***
Sebelum berangkat ke pabrik miliknya, Denny mengecek kembali laporan keuangan sebulan terakhir. Ia tersenyum puas. Tidak sia-sia ia mengajukan pinjaman. Brand aksesoris kulit miliknya mulai dikenal hingga ke mancanegara sehingga jumlah pesanan meningkat drastis.
Ia menutup laporan keuangan itu dan meletakkannya di atas meja. Baru selangkah ia meninggalkan ruang kerja, ponselnya berbunyi. Budiman, asisten kepercayaannya, menelepon. Namun, beberapa detik kemudian, wajah Denny yang semula semringah berubah panik.
Terburu-buru Denny menuju garasi. Begitu berada di belakang kemudi, ia membunyikan klakson berkali-kali. Mbak Min yang sedang menyiram tanaman, tergopoh-gopoh membuka pintu pagar. Denny melajukan kendaraannya begitu pintu pagar terbuka. Tak ia pedulikan panggilan istrinya yang setengah berlari mengejar mobilnya.