Wajah cemas Fathir yang pertama ia temui begitu pintu terbuka.
"Pa, Mama pingsan. Sekarang sudah berada di ruang ICU." Fathir menjelaskan dengan gugup saking khawatirnya.
Meskipun masih bingung, Denny tidak menolak ketika Fathir menggandeng tangannya. Mereka segera menuju rumah sakit dengan taksi yang sudah dipesan Fathir.
Tak sampai satu jam mereka sampai di RS Asy-Syifa, tempat Kania dirawat. Mereka segera menuju ke ruang ICU. Namun, keluarga tidak diperbolehkan masuk. Mereka hanya bisa melihat Kania melalui jendela kaca.
Timbul rasa iba di hati Denny ketika melihat Kania. Tubuhnya lebih kurus dan pucat sejak terakhir mereka bertemu. Seketika rasa bersalah menyergapnya. "Dek, kamu sakit apa? Maafkan Abang yang tidak bisa menjagamu sampai tidak tahu kalau kamu sedang sakit," bisik hati Denny.
Namun, Denny masih menyimpan kecewa karena Kania meninggalkannya begitu saja. Egonya sebagai suami belum bisa menerima pengabaian sang istri.
Pukul 11.20 WIB, seorang lelaki berusia 40-an tahun datang. Saat bersalaman dan menyebut namanya, Denny tahu dialah ustadz yang sering dibicarakan istrinya.
Hakim menceritakan bahwa ia adalah saudara sepersusuan Kania yang selama ini kuliah di Mesir hingga meraih gelar doktor.
"Hakim ini kesayangan Mama," tutur Pak Wibowo, ayah Kania. "Sejak remaja dia memang digilai banyak gadis karena kegantengan dan kecerdasannya."
"Ah, Papa ini terlalu berlebihan," sahut Hakim.
Menjelang ashar, lelaki berwajah teduh itu pamit karena ia ada jadwal mengajar.
Seharian Fathir, Denny, dan kedua orang tua Kania menunggu. Akan tetapi, tidak ada tanda-tanda kalau Kania akan sadar dari komanya. Mereka tidak meninggalkan ruang tunggu kecuali untuk salat, makan, dan ke toilet. Itu pun dilakukan secara bergantian.