Mohon tunggu...
Tatiek R. Anwar
Tatiek R. Anwar Mohon Tunggu... Penulis - Perajut aksara

Penulis novel Bukan Pelaminan Rasa dan Sebiru Rindu serta belasan antologi, 2 antologi cernak, 3 antologi puisi. Menulis adalah salah satu cara efektif dalam mengajak pada kebaikan tanpa harus menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Cinta dari Hati

6 Agustus 2022   19:02 Diperbarui: 11 Agustus 2022   00:02 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Ibu yang baru melahirkan. (Sumber: pixabay/one_life)

Ghina memandang sosok mungil yang terlelap dalam buaiannya. Memandang wajah bayi perempuan ini selalu menghadirkan senyum di wajah cantiknya. Kebahagiaan memenuhi ceruk hati wanita yang baru melahirkan bayi mungil itu seminggu yang lalu. 

Sempurnalah ia sebagai seorang wanita. Sungguh, hal ini membuatnya tak pernah berhenti bersyukur. Ia merasakan betapa besar nikmat dan karunia yang Allah limpahkan padanya.

Ghina beranjak dari ranjang untuk menaruh sang buah hati ke dalam boks bayi. Baru saja ia meletakkan putri kecilnya, pintu kamar diketuk. Segera ia menyambar kerudung kaus di sisi tempat tidur dan membuka pintu kamarnya. Seraut wajah teduh menyambutnya dengan senyum yang terukir manis.

Baca juga: Cerpen: Yuwaraja

"Umma, ayo, masuk!" sambut Ghina dengan wajah berseri.

"Kamu belum bersiap-siap?" tanya wanita yang dipanggil Umma. "Sudah ada tamu yang datang, loh."

"Iya, Ma. Tadi waktu mau ganti baju, Jihan bangun. Rupanya ia pipis dan lapar."

"Oh, ya, udah. Umma bawa Jihan keluar, ya," ucap wanita paruh baya itu sambil melangkah menuju boks bayi.

"Tapi, Jihan, kan, baru tidur."

"Di dekapan Umma, Jihan pasti tambah nyenyak tidur," dalih sang ibu yang sudah menggendong Jihan. "Kamu ganti baju, deh."

"Iya, Umma," jawabnya pasrah.

Jihan adalah cucu pertama di keluarga Hakim, wajar jika kehadirannya menjadi pusat perhatian, terutama sang ibu yang sangat mendambakan cucu. 

Bukan Ghina melarang ibunya untuk menyayangi sang cucu, melainkan ia tak ingin putrinya menjadi bau tangan, ia juga yang akan repot ketika tak ada yang membantu. Akan tetapi akhirnya ia menyerah ketika melihat wajah cerah dan mata berbinar Umma setiap menggendong cucunya.

*

Sembilan tahun lalu.

"Pokoknya, Na enggak setuju, Uti!" teriak gadis kelas VIII itu dengan wajah tertekuk dan sorot mata tidak suka.

"Tapi, Na, ayahmu butuh teman dan istri yang bisa memenuhi kebutuhannya," bujuk sang nenek dengan hati-hati.

"Katanya Ayah sayang Bunda, mana buktinya? Baru dua tahun Bunda meninggal, Ayah udah mau nikah lagi."

"Na...."

"Pokoknya, kalau Ayah nikah lagi, Na mau ikut Uti aja, tinggal di Jogja." Gadis berlesung pipi itu merajuk, lalu meninggalkan sang nenek yang masih duduk di taman samping rumah Ghina.

Ratih, sang nenek, hanya menarik napas berat dan mengelus dada karena kemarahan cucu kesayangannya. Ratih memahami bahwa tidak mudah bagi remaja itu untuk menerima ibu baru. Apalagi, selama ini yang Ghina dengar adalah persepsi tentang ibu tiri yang jahat.

*

Sumber illustrasi: pngtree
Sumber illustrasi: pngtree

"Bu Hana, mana Bu Hana?" Untuk ke sekian kalinya Akifa mengigau.

Sudah tiga hari ini Akifa demam. Ia sering memanggil sang mama yang meninggal saat gadis kecil itu kelas II SD. Namun, kali ini yang ia panggil Bu Hana, guru mengaji di komplek Akifa tinggal.

Ghina menaruh novel remaja yang dibacanya, lalu bergegas mendekati sang adik yang gelisah dalam tidurnya. Ia meraba kening Akifa dan merasakan suhu tubuhnya kembali meninggi.

"Bu Hana, jangan tinggalin Ifa!"

Ghina tak tahu harus berbuat apa. Ia sudah berkali-kali mengganti kompres di dahi Akifa, tetapi hal itu tak mengurangi demamnya sedikit pun. Dengan langkah tergesa, ia memanggil ayahnya yang sedang mencuci motor di teras. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di mobil untuk membawa Akifa ke rumah sakit swasta yang letaknya hanya sekitar 1 km dari rumah mereka.

Tiba di RS Asy-Syifa, Akifa segera masuk ke ruangan UGD dan mendapatkan pertolongan dokter jaga. Setelah tiga jam menunggu dengan cemas, suhu tubuh Akifa mulai turun.

Hakim, Ayah Ghina, menyuapi bubur ke mulut Akifa dengan penuh kasih. Semenjak ditinggal sang istri, Hakim berusaha memberi perhatian lebih kepada dua putrinya. Namun, tetap saja hal itu tidak bisa menggantikan kedudukan ibu bagi keduanya.

"Yah," panggil Akifa lemah.

"Ya, Nak," sambut Hakim sambil menatap mata putri keduanya penuh kasih.

"Tadi Ifa bermimpi Bu Hana pergi. Ifa sedih banget. Ayah harus menahan Bu Hana biar enggak pergi, ya," pintanya.

Hakim menarik napas berat, ia menatap Akifa iba. Ketika sang istri wafat, usia Akifa baru 8 tahun. Wajar jika gadis kecil itu sangat kehilangan. Ghina yang berdiri di sisi lain ranjang, hanya terdiam. Ia kasihan pada adiknya, tetapi hatinya belum bisa menerima jika sang ayah menikah lagi.

Tiga bulan lalu, Hakim mengungkapkan keinginannyan untuk menikah lagi. Ghina tidak memberikan jawaban apa pun. Hakim tahu putri sulungnya tidak menyetujui keinginannya. 

Lelaki penyabar itu khawatir jika ia memaksakan kehendaknya, hal itu justru merusak hubungannya dengan sang putri.

Namun, melihat Akifa sakit dan sangat membutuhkan kehadiran seorang ibu, membuat Ghina menurunkan egonya. Ia memenuhi permintaan sang adik agar sang ayah menikahi guru ngajinya.

Hakim dan Hana dijodohkan oleh imam masjid, kakak kandung Hana. Setelah tiga kali dipertemukan, Hakim memantapkan hatinya untuk mempersunting janda dua anak yang suaminya wafat dalam sebuah kecelakaan pesawat itu.

Acara pernikahan yang berlangsung secara sederhana, tidak mengurangi kebahagiaan dua keluarga yang dipersatukan oleh akad itu.

*

"Na, kamu ke perpustakaannya besok sore aja, ya. Mas Kemal sore ini ada rapat pengurus Osis," ujar remaja lelaki kelas XI bertubuh jangkung itu.

"Tapi, aku perlu sekarang, Mas. Tugasnya dikumpulin besok," jawab Ghina.

"Mas, kan, ketua panitia baksos, Na. Masa enggak ikut rapat, sih?"

Kemal menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Kakak tiri Ghina itu ditugaskan Umma untuk menjaga dan mengantar ke mana pun adiknya pergi. Namun, saat ini ia tidak bisa mengantar, sementara Ghina harus tetap pergi untuk menyelesaikan tugas sekolahnya.

Ghina sebenarnya tidak suka selalu dikawal sang kakak. Ia menganggap Umma selalu ikut campur atas semua urusannya. Umma sering bertanya siapa saja teman mainnya. Umma mengatakan bahwa teman adalah cermin diri seseorang, karenanya Umma sering berpesan agar Ghina selektif dalam memilih teman. Bahkan, sampai cara berpakaian pun, Umma dianggapnya terlalu mengatur.

Pernah suatu hari Ghina mengenakan celana jeans dipadu kaus pendek berlengan panjang, Umma memintanya segera mengganti kausnya dengan tunik. Padahal, kerudung tetap melengkapi outfit yang dikenakannya. Kata Umma, pakaian yang Ghina kenakan masih menampakkan lekuk tubuhnya.

"Mas, Na pergi sendiri aja, ya. Jadi, kita bisa menyelesaikan tugas masing-masing," usul Ghina.

"Tapi, Na ...."

"Ah, sekali ini aja, kok. Asal kita enggak buka mulut, aman." Gadis kelas X itu mengacungkan jempolnya sambil menyengir.

Ghina segera menyambar ransel dan berlalu dari hadapan Kemal yang belum bisa memutuskan. Lima menit kemudian, Kemal baru tersadar ketika mendengar suara motor meninggalkan rumahnya.

"Loh, kenapa Ghina naik motor sendiri? Dia, kan, belum lancar menaikinya," batin Kemal. Ia menepis pikiran buruk yang melintas dan menyugesti diri bahwa Ghina akan baik-baik saja.

*

Ghina terbangun dengan badan seperti habis dipukuli. Ia berusaha memiringkan badan, tetapi sikunya terasa nyeri. Ia pun kembali ke posisi semula. Ketika menatap sekeliling ruangan, Ghina baru tersadar bahwa ia berada di rumah sakit.

Terakhir kali yang gadis itu ingat, ia terjatuh ketika melewati polisi tidur yang masih berada dalam komplek perumahan.

Ia terhempas, kaki kirinya tertimpa badan motor dan menimbulkan nyeri yang luar biasa. Tak lama, pandangannya menggelap. Gadis berhijab biru itu tak sadarkan diri.

Tatapan Ghina beralih ke samping kanan ranjang. Ia menatap tak percaya ketika mendapati Umma yang tertidur dengan wajah menelungkup di sisi ranjang. Selama ini, ia menganggap sang ibu tiri tidak peduli padanya. Semua yang ia lakukan, seolah-olah salah di mata Umma.

Ghina bergerak hati-hati, ia tidak ingin mengganggu tidur Umma. Gadis itu ingin ke toilet, tetapi sakit di pergelangan kaki kirinya tak urung membuat ia mengaduh. Seketika Hana mengangkat kepala dan bola matanya membulat.

"Na, kamu udah bangun?" Umma menatap Ghina cemas. "Kamu mau ke mana?"

"Ke toilet, Ma. Kebelet pipis," jawab Ghina kikuk. Selama menjadi ibu sambungnya, Ghina jarang sekali bercakap-cakap. Ia selalu menghindar jika Umma berusaha mengakrabkan diri.

"Sini, Umma bantu." Dengan sigap, Umma beralih ke sisi Ghina dan melepas botol infus dari tiangnya. Wanita berwajah teduh itu membantu putrinya turun dari ranjang.

"Aduh!" Ghina meringis ketika ia menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan.

Umma segera melingkarkan tangan kiri Ghina ke bahunya, kemudian memapahnya hingga ke dalam toilet.

"Perlu Umma bantu?" tanyanya ketika melihat gadis beralis tebal itu berpegangan pada dinding kamar mandi.

"Eh, enggak usah, Ma. Kalau pelan-pelan, Na bisa, kok."

"Oke, jangan sungkan kalau perlu bantuan, ya."

Ghina melempar senyum sambil menatap wajah teduh itu. Ia mendapati sinar cinta yang tulus, yang baru ia sadari. Mulai detik itu, ia merasa bahwa Umma memang seorang ibu yang layak mendapat cinta dari anaknya.

Wanita yang masih cantik di usia 48 tahun itu memang tidak pernah membedakan perhatian padanya dan Akifa, meskipun dari rahimnya telah lahir seorang anak lelaki yang mewarisi ketampanan sang ayah.

*

"Na ...."

Seraut wajah tampan muncul dari balik pintu membuat Ghina tersentak kaget.

"Loh, malah melamun. Udah ditunggu sahabat-sahabatmu, tuh." Ifkar, lelaki itu, berjalan mendekati sang istri yang tadi dilihatnya termangu di hadapan cermin lemari riasnya.

"Ashiyaap, Ganteng," ucap Ghina tersenyum menampakkan gigi kelincinya.

"Emang, makanya kamu pilih aku." Ifkar tertawa lepas.

"Ih, ge-er!" sungut Ghina. Ifkar tertawa makin keras melihat sang istri mencebik.

Ah, sesungguhnya Ghina suka melihat sang suami tertawa. Kegantengannya makin meningkat karena tawa membuat wajahnya makin cerah.

"Keluar dulu, gih! Aku mau ganti baju," pinta Ghina.

"Kalau aku enggak mau, gimana?" tanya Ifkar dengan senyum menggoda.

"Mas, please, deh."

Ifkar tetap bergeming meski sudah didorong sang istri. Melihat hal itu, Ghina melingkarkan tangannya di pinggang Ifkar, membuat lelaki itu tersenyum menang. Tapi, sedetik kemudian ....

"Aww! Iya, iya, aku keluar." Ifkar meringis sambil memegang pinggangnya yang dicubit sang istri.

Melihat tingkah suaminya, kini Ghina yang tertawa penuh kemenangan. Ifkar segera berlalu diikuti pandangan sang istri.

Sampai di depan pintu, Ifkar menoleh kemudian mengedipkan sebelah matanya. Ghina tertawa tanpa suara, tetapi hatinya sungguh berbunga. Lengkap sudah kebahagiaannya. Ia memiliki keluarga yang menyayangi dan seorang ibu tiri yang kasihnya seperti ibu kandung.

Umma bisa menjadi ibu yang baik di kala ia dan Akifa membutuhkan. Umma jugalah yang membantunya meyakinkan ayah akan pilihan hatinya, Ifkar. Lelaki saleh lulusan al Azhar itu telah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.

~ Selesai ~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun