Ia terhempas, kaki kirinya tertimpa badan motor dan menimbulkan nyeri yang luar biasa. Tak lama, pandangannya menggelap. Gadis berhijab biru itu tak sadarkan diri.
Tatapan Ghina beralih ke samping kanan ranjang. Ia menatap tak percaya ketika mendapati Umma yang tertidur dengan wajah menelungkup di sisi ranjang. Selama ini, ia menganggap sang ibu tiri tidak peduli padanya. Semua yang ia lakukan, seolah-olah salah di mata Umma.
Ghina bergerak hati-hati, ia tidak ingin mengganggu tidur Umma. Gadis itu ingin ke toilet, tetapi sakit di pergelangan kaki kirinya tak urung membuat ia mengaduh. Seketika Hana mengangkat kepala dan bola matanya membulat.
"Na, kamu udah bangun?" Umma menatap Ghina cemas. "Kamu mau ke mana?"
"Ke toilet, Ma. Kebelet pipis," jawab Ghina kikuk. Selama menjadi ibu sambungnya, Ghina jarang sekali bercakap-cakap. Ia selalu menghindar jika Umma berusaha mengakrabkan diri.
"Sini, Umma bantu." Dengan sigap, Umma beralih ke sisi Ghina dan melepas botol infus dari tiangnya. Wanita berwajah teduh itu membantu putrinya turun dari ranjang.
"Aduh!" Ghina meringis ketika ia menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan.
Umma segera melingkarkan tangan kiri Ghina ke bahunya, kemudian memapahnya hingga ke dalam toilet.
"Perlu Umma bantu?" tanyanya ketika melihat gadis beralis tebal itu berpegangan pada dinding kamar mandi.
"Eh, enggak usah, Ma. Kalau pelan-pelan, Na bisa, kok."
"Oke, jangan sungkan kalau perlu bantuan, ya."