"Bu Hana, mana Bu Hana?" Untuk ke sekian kalinya Akifa mengigau.
Sudah tiga hari ini Akifa demam. Ia sering memanggil sang mama yang meninggal saat gadis kecil itu kelas II SD. Namun, kali ini yang ia panggil Bu Hana, guru mengaji di komplek Akifa tinggal.
Ghina menaruh novel remaja yang dibacanya, lalu bergegas mendekati sang adik yang gelisah dalam tidurnya. Ia meraba kening Akifa dan merasakan suhu tubuhnya kembali meninggi.
"Bu Hana, jangan tinggalin Ifa!"
Ghina tak tahu harus berbuat apa. Ia sudah berkali-kali mengganti kompres di dahi Akifa, tetapi hal itu tak mengurangi demamnya sedikit pun. Dengan langkah tergesa, ia memanggil ayahnya yang sedang mencuci motor di teras. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di mobil untuk membawa Akifa ke rumah sakit swasta yang letaknya hanya sekitar 1 km dari rumah mereka.
Tiba di RS Asy-Syifa, Akifa segera masuk ke ruangan UGD dan mendapatkan pertolongan dokter jaga. Setelah tiga jam menunggu dengan cemas, suhu tubuh Akifa mulai turun.
Hakim, Ayah Ghina, menyuapi bubur ke mulut Akifa dengan penuh kasih. Semenjak ditinggal sang istri, Hakim berusaha memberi perhatian lebih kepada dua putrinya. Namun, tetap saja hal itu tidak bisa menggantikan kedudukan ibu bagi keduanya.
"Yah," panggil Akifa lemah.
"Ya, Nak," sambut Hakim sambil menatap mata putri keduanya penuh kasih.
"Tadi Ifa bermimpi Bu Hana pergi. Ifa sedih banget. Ayah harus menahan Bu Hana biar enggak pergi, ya," pintanya.