Ghina melempar senyum sambil menatap wajah teduh itu. Ia mendapati sinar cinta yang tulus, yang baru ia sadari. Mulai detik itu, ia merasa bahwa Umma memang seorang ibu yang layak mendapat cinta dari anaknya.
Wanita yang masih cantik di usia 48 tahun itu memang tidak pernah membedakan perhatian padanya dan Akifa, meskipun dari rahimnya telah lahir seorang anak lelaki yang mewarisi ketampanan sang ayah.
*
"Na ...."
Seraut wajah tampan muncul dari balik pintu membuat Ghina tersentak kaget.
"Loh, malah melamun. Udah ditunggu sahabat-sahabatmu, tuh." Ifkar, lelaki itu, berjalan mendekati sang istri yang tadi dilihatnya termangu di hadapan cermin lemari riasnya.
"Ashiyaap, Ganteng," ucap Ghina tersenyum menampakkan gigi kelincinya.
"Emang, makanya kamu pilih aku." Ifkar tertawa lepas.
"Ih, ge-er!" sungut Ghina. Ifkar tertawa makin keras melihat sang istri mencebik.
Ah, sesungguhnya Ghina suka melihat sang suami tertawa. Kegantengannya makin meningkat karena tawa membuat wajahnya makin cerah.
"Keluar dulu, gih! Aku mau ganti baju," pinta Ghina.