Jihan adalah cucu pertama di keluarga Hakim, wajar jika kehadirannya menjadi pusat perhatian, terutama sang ibu yang sangat mendambakan cucu.Â
Bukan Ghina melarang ibunya untuk menyayangi sang cucu, melainkan ia tak ingin putrinya menjadi bau tangan, ia juga yang akan repot ketika tak ada yang membantu. Akan tetapi akhirnya ia menyerah ketika melihat wajah cerah dan mata berbinar Umma setiap menggendong cucunya.
*
Sembilan tahun lalu.
"Pokoknya, Na enggak setuju, Uti!" teriak gadis kelas VIII itu dengan wajah tertekuk dan sorot mata tidak suka.
"Tapi, Na, ayahmu butuh teman dan istri yang bisa memenuhi kebutuhannya," bujuk sang nenek dengan hati-hati.
"Katanya Ayah sayang Bunda, mana buktinya? Baru dua tahun Bunda meninggal, Ayah udah mau nikah lagi."
"Na...."
"Pokoknya, kalau Ayah nikah lagi, Na mau ikut Uti aja, tinggal di Jogja." Gadis berlesung pipi itu merajuk, lalu meninggalkan sang nenek yang masih duduk di taman samping rumah Ghina.
Ratih, sang nenek, hanya menarik napas berat dan mengelus dada karena kemarahan cucu kesayangannya. Ratih memahami bahwa tidak mudah bagi remaja itu untuk menerima ibu baru. Apalagi, selama ini yang Ghina dengar adalah persepsi tentang ibu tiri yang jahat.
*