Kaki Ilman belum pulih benar, tetapi ia tidak bergantung kembali pada kursi roda. Kini, hampir semua kegiatan bisa ia lakukan sendiri. Bahkan, ia mulai bisa berdiri agak lama tanpa bantuan tongkat kruk.
"Bro!"
Tangan Ilman yang hendak menyentuh gagang pintu terhenti. Ia menoleh dan tersenyum manis mendapati sahabatnya setengah berlari menghampiri.
"Wuih, matahari pagi kalah cerah sama senyum lo, Bro!" ledek Zaka.
Ilman tergelak. Pelan, tangan kirinya meninju bahu kanan Zaka. "Lebay!" sungutnya.
Tangan Zaka dengan sigap membuka pintu ruangan Ilman. Ia mengikuti sang sahabat yang mengayun kruk pelan seiring langkahnya.
"Bro, lo keliatan bahagia banget. Cerita, dong!"
"Lo kepo amat, sih, kayak netizen plus enam dua." Kini gantian Ilman yang meledek temannya.
"Lo masih menganggap gue sahabat, kan?"
"Yaelah, sekarang lo baper kayak Inem yang kagak diapelin Parmin," sahut Ilman. Tawanya pecah melihat sahabat terbaiknya semakin menekuk wajahnya. "Iya, deh, gue kasih tau."
"Nah, gitu, dong! Jadi, ada berita bahagia apa, nih?"