Mohon tunggu...
Tatiek R. Anwar
Tatiek R. Anwar Mohon Tunggu... Penulis - Perajut aksara

Penulis novel Bukan Pelaminan Rasa dan Sebiru Rindu serta belasan antologi, 2 antologi cernak, 3 antologi puisi. Menulis adalah salah satu cara efektif dalam mengajak pada kebaikan tanpa harus menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Karenamu, Melainkan Untuk-Nya

17 Desember 2021   13:18 Diperbarui: 26 April 2022   22:37 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Islampos.com

Sore yang teduh. Warna langit yang semula terang perlahan menguning, mencipta keindahan yang menerbitkan rasa syukur. Syahdunya senja seakan tidak mengurangi semangat 24 anak dan remaja yang duduk di tikar lusuh dan memandang pada satu titik.

"Adik-adik solih dan solihah, Muhammad shallalahu 'alaihi wa sallam adalah Nabi yang memiliki akhlak yang mulia. Banyak orang yang tertarik kepada Islam karena bagusnya akhlak beliau. Allah menjaga Nabi terakhir itu sehingga siapapun akan kagum dengan pribadi Rasulullah," kisah seorang lelaki berkaca mata yang biasa dipanggil Imad. 

Dipandanginya wajah anak-anak dengan rentang usia 7-15 tahun yang duduk bersila di depannya. Meskipun mereka anak jalanan yang tidak bersekolah resmi, antusiasme mereka membuat Imad semangat. Anak-anak seperti mereka butuh figur teladan yang pantas untuk diidolakan. 

Imad menceritakan dengan penuh penghayatan sehingga siapapun yang mendengarnya ikut terbawa suasana hatinya, termasuk seorang gadis berambut sebahu yang mendampingi anak-anak di bagian belakang.

Gadis bermata jeli itu adalah Naura Kartika, siswi kelas XII SMA. Sekolah Naura memang memilki satu kurikulum pemberdayaan siswa untuk menjadi insan yang bermanfaat untuk orang lain. Bentuknya bisa mengedukasi masyarakat soal pentingnya menjaga kebersihan, melestarikan sumber daya alam dengan tidak merusaknya atau hal mendidik lainnya. 

Gadis tinggi penyuka olahraga basket itu memilih untuk mengajar di sekolah terbuka.

Tiba-tiba seorang anak berusia sekitar tiga belas tahun bernama Fajar, mengacungkan tangannya. 

"Kak, jika kita mencintai Rasulullah, apakah kita akan akan bersama Nabi di surga?" 

"Pertanyaan bagus," tanggap Imad dengan senyum lebar. "Tentu aja, Fajar! Dalam sebuah haditsnya Rasulullah menegaskan bahwa kelak di akhirat seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya. Jika mencintai Rasul, maka kelak kita akan bersamanya di surga, in sya Allah," jawab pemuda berkulit bersih itu.

"Oke, karena sudah waktu istirahat, kita break dulu, ya. Nanti acara akan dilanjutkan setelah salat dan makan," tutup pemuda yang suka memanjat gunung itu. Ia kemudian menutup sesi kelasnya dengan membaca doa penutup majelis.

Imad adalah mahasiswa semester enam yang rutin mengajar di sekolah terbuka ini. Pemuda yang memiliki hapalan 20 juz al-Qur'an itu mengajari anak-anak dua kali dalam sepekan. Ia memang menyukai kegiatan sosial terutama yang terkait dengan pendidikan anak jalanan. Kegiatan seperti ini sudah dilakukannya sejak ia kelas XI SMA.

Ini hari terakhir Naura menuntaskan tugas dari sekolahnya. Selanjutnya ia harus membuat laporan tentang apa saja yang sudah dilakukannya selama seminggu ini kemudian menuliskan pesan dan kesannya. 

Baginya tugas ini membuat ia semakin bersyukur, dilahirkan dalam keluarga yang utuh dan sangat diperhatikan kebutuhan jasmani dan rohaninya. Satu hal yang membuatnya terkesan, yaitu sosok pemuda gagah yang luwes dalam mengajar dan terlihat akrab dengan anak-anak.

Naura sendiri heran, ia yang biasanya sangat tidak peduli dengan makhluk bergender cowok, kini memilki perhatian khusus pada pemuda yang baru dikenalnya.

"Ra .... " Vania sahabatnya, melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya. "Melamun aja!" protesnya.

Naura tersipu diledek teman satu kelasnya itu. "Yuk, kita pulang!" ajaknya untuk menyembunyikan pipinya yang tiba-tiba merona.

***

Naura kini hampir tiap hari mengajar di sekolah terbuka. Terlebih ia sudah selesai melaksanakan ujian akhir di SMA-nya sehingga banyak waktu luang sebelum ia menjalani pendidikannya sebagai mahasiswa. 

Hal ini tentu disambut kakak-kakak mahasiwa dengan antusias. Semakin banyak yang membantu, maka semakin ringan beban yang dipikul. Anak-anak jalanan itu semakin banyak yang memperhatikan sehingga mereka semakin semangat untuk belajar.

Namun, ada hal lain yang memotivasi Naura untuk mengajar di sekolah non formal itu, dan cuma Vania yang tahu. Berkali-kali sahabatnya yang telah berhijab lebih dahulu itu mengingatkan bahwa "innamal 'a'malu binniyat", segala sesuatu itu tergantung niatnya. Jangan sampai suatu perbuatan menjadi sia-sia karena bukan diniatkan karena Allah.

"Ra, Kak Imad itu sangat menjaga sekali pergaulannya dengan lawan jenis, apalagi kamu nggak berhijab," ingat Vania.

"Oh, ya?" Naura menanggapinya dengan santai. 

***

Sore ini Naura mengajar dengan penampilan yang berbeda, gamis dan kerudung menutupi rambut indahnya. Kakak-kakak mahasiswi senang melihat Naura telah menutup auratnya, bahkan mereka memuji gadis berhidung bangir itu yang semakin terlihat menawan dengan berhijab. 

Lalu, bagaimana dengan Imad? Ia hanya memandang Vania sambil lalu dan berkata, "Selamat, ya. Semoga istiqomah."

Naura bertambah semangat setelah mendapat ucapan selamat dari Imad. Ia mulai mengamati, apa saja kebiasaan baik yang disukai Imad. Ia jadi semakin semangat belajar untuk memperbaiki bacaan Qur'an karena tahu Imad sangat fasih dalam melantunkan kalam-Nya. 

Selain itu, Ia juga rajin mengikuti pengajian, karena ingin menambah pemahaman agamanya. Kagiatan-kegiatan baik itu terus dilakukan Naura sampai ia menjadi mahasiswa.

Dari taklim-taklim yang diikuti, gadis yang kini tidak pernah melepas hijabnya itu mengetahui bahwa Islam memberi batasan jelas hubungan antar lawan jenis. Naura memahami aturan-aturan dalam Islam bukan untuk membatasi gerak hamba-Nya, melainkan karena Islam sangat menghormati kaum wanita. 

Kecintaan gadis berlesung pipi itu pada Islam, kini tumbuh subur karena ia mengetahui ketinggian Islam, bukan karena seorang Imad.

***

Tahun berganti, tak terasa Naura kini sudah semester tujuh. Ia mulai melakukan riset dan mengumpulkan bahan untuk skripsi. Targetnya.empat tahun kuliah, ia sudah mendapat gelar sarjana. Kesibukan gadis penyuka warna pastel itu di kegiatan sosial, tidak menghalangi tekadnya menyelesaikan kuliah tepat waktu. 

Tadi pagi Naura mendapat kabar dari Vania, bahwa Bang Imad akan melangsungkan pernikahan pekan depan. Lelaki itu memang cinta pertamanya, tetapi cintanya kepada Allah lebih tinggi. Ia meyakini bahwa masing-masing sudah Allah tetapkan jodohnya, jadi mengapa ia risau pada perkara yang sudah Allah jamin? 

Dengan keyakinan ini, gadis yang mulai tampak kedewasaannya itu menjalani hidup penuh rasa bahagia. Semua hal yang dilakukannya selalu bermuara untuk mendapatkan cinta Allah.

***

Paska kelulusan, Naura membaktikan ilmunya di sebuah pesantren di daerah Jawa Barat. Tak terasa setahun sudah ia mengajar di pesantren Darul Ilmi. Gadis lembut ini sangat betah tinggal di lingkungan Darul Ilmi. Ia menjadi tempat curhat yang mengasyikkan sehingga dicintai oleh santri putri.

Suatu malam selepas mengisi kajian fiqh, Naura dipanggil Nyai Fatimah. Ia menghadap dengan santun dan takzim, satu hal yang disukai nyai dari dirinya.

"Naura," panggil istri pimpinan pesantren itu lembut. "Kamu sudah dewasa sekarang, jiwa keibuanmu makin tumbuh. Nyai menilai, kamu sudah siap melayari biduk rumah tangga."

Naura terdiam, dia memang sudah siap jika ada lelaki saleh yang ingin meminangnya. Jika nyai yang menjodohkannya, ia yakin pasti nyai memilihkan yang terbaik untuknya.

"Ia keponakan nyai. Lelaki yang baik agama, akhlak dan sifatnya. Hanya saja ...." Nyai menjeda kalimatnya. "Ia seorang duda. Tiga bulan yang lalu, sang istri wafat di hari ia melahirkan putrinya karena pendarahan hebat."

Wanita lembut berwajah teduh itu memandang penuh kasih wanita di hadapannya. Rasa iba tergambar jelas di wajahnya.

"Naura, rasa iba bukan pondasi kuat dalam membangun rumah tangga. Mintalah fatwa pada hatimu, libatkan Allah dengan istikharah. Nyai tunggu keputusanmu sepekan dari sekarang!" titah nyai.

"Baik, Nyai," angguk Naura takzim. Tanpa banyak kata, ia pun segera berpamitan.

***

Sebulan kemudian.

Rangkaian akad dan resepsi baru saja usai. Naura merasakan kebahagiaan yang memenuhi ruang hatinya. Benarlah apa yang dikatakan guru mengajinya semasa kuliah dulu. Mbak Aisyah berpesan seperti yang dikutipnya dari sabda Rasulullah, bahwa jika kita meniatkan perbuatan untuk memperoleh dunia, maka kita akan dapat dunia. 

Sebaliknya, jika kita meniatkan semua amalan untuk mendapatkan Allah, maka kita akan dapat cinta Allah dan dunia sekaligus.

Kebenaran itu terbukti, ia meninggalkan seorang Imad untuk mendapat kemurnian cinta Allah. Ia merasakan nikmatnya beribadah dan dicintai Allah. 

Dan kini, ia mendapatkan dunia, seorang belahan jiwa beserta putri kecilnya. Lelaki salih itu, Hikmat Auliya, adalah lelaki yang dulu diharapkan untuk menjadi pasangan hidupnya. Lelaki tampan dengan senyum menyejukkan itu, biasa dipanggil Imad.

~ Tamat ~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun