Dengan keyakinan ini, gadis yang mulai tampak kedewasaannya itu menjalani hidup penuh rasa bahagia. Semua hal yang dilakukannya selalu bermuara untuk mendapatkan cinta Allah.
***
Paska kelulusan, Naura membaktikan ilmunya di sebuah pesantren di daerah Jawa Barat. Tak terasa setahun sudah ia mengajar di pesantren Darul Ilmi. Gadis lembut ini sangat betah tinggal di lingkungan Darul Ilmi. Ia menjadi tempat curhat yang mengasyikkan sehingga dicintai oleh santri putri.
Suatu malam selepas mengisi kajian fiqh, Naura dipanggil Nyai Fatimah. Ia menghadap dengan santun dan takzim, satu hal yang disukai nyai dari dirinya.
"Naura," panggil istri pimpinan pesantren itu lembut. "Kamu sudah dewasa sekarang, jiwa keibuanmu makin tumbuh. Nyai menilai, kamu sudah siap melayari biduk rumah tangga."
Naura terdiam, dia memang sudah siap jika ada lelaki saleh yang ingin meminangnya. Jika nyai yang menjodohkannya, ia yakin pasti nyai memilihkan yang terbaik untuknya.
"Ia keponakan nyai. Lelaki yang baik agama, akhlak dan sifatnya. Hanya saja ...." Nyai menjeda kalimatnya. "Ia seorang duda. Tiga bulan yang lalu, sang istri wafat di hari ia melahirkan putrinya karena pendarahan hebat."
Wanita lembut berwajah teduh itu memandang penuh kasih wanita di hadapannya. Rasa iba tergambar jelas di wajahnya.
"Naura, rasa iba bukan pondasi kuat dalam membangun rumah tangga. Mintalah fatwa pada hatimu, libatkan Allah dengan istikharah. Nyai tunggu keputusanmu sepekan dari sekarang!" titah nyai.
"Baik, Nyai," angguk Naura takzim. Tanpa banyak kata, ia pun segera berpamitan.
***