Setelah diberi permata saat berlayar bersama nahkoda
Setelah diberi tahta dan bermahkota saat bersama raja
Aku dipecundangi semesta
Keluarga dan sanak saudara berpesta dan tertawa
Nanar mata mereka menelanjangi aku yang penuh luka
Aku dihina dan diludahiÂ
Tidak ada tempat yang dapat ku singgahi
Tersesat di hutan belantara
Berkawan dengan deru angin
Karibku adalah hawa dingin
Aku di dekap dengan mesra hingga menggigil
Hutan ini, jalan setapaknya dipenuhi belukar
Duri-duri menjadi akrab dengan telapak kakiku
Darah yang mengucur hingga mengering
Tidak ada satu pun ku temui pertolongan
Berteriak aduh saja aku disambut tawa binatang melata
Apalagi membuat gaduh memporak-poranda belantara, bisa-bisa aku diterkam singa atau kawanan serigala
Astaga, aku lupa bahwa waktu ini fana
Amarah dan benci ternyata sia-sia
Merebahkan diri dan tidur di bawah pohon ara
Makan dan minum air telaga setelah berkelahi dengan para kera
Rasanya sudah biasa aku mengembara
Samudera, Istana, dan hutan belantara
Ku pandangi langit malam yang indah malam itu
Di langit utara Rasi auriga, pengendara kereta kuda
Sinar Arcturus dan Vega mengalahkan Capella
Dalam hening, aku hanya kambing betina yang terlalu pecundang menghadapi singa apalagi serigala
Meratapi bintang gemintang membuat aku rindu untuk pulang
Tetapi, kemana aku harus pulang?
Hingga lupa aku terpejam dan hening gelap melelapkan mata
Pagi nya, kicauan burung dan tetes embun membangunkan aku
Bergegas menelusuri jalan lagi
Tampak pagi yang cerah
Matahari yang tidak tahu malu mulai meninggi
Ku lihat ada sebuah jalan yang rapi dan sepi
Ku telusuri jalan itu hingga senja datang kembali
Panjang sekali jalan ini
Banyak bunga melati, aromanya menemani aku menikmati sunyi
Dahaga ku bergejolak, tapi tidak mungkin aku memetik putik cantik melati
Di penghujung jalan, ku temui ada sebuah rumah kecil dengan lampu yang terang
Ku ketuk pintunya dan menyapa tuannya
Ia mempersilakan masuk dan menawarkan secangkir teh hangat
Ia adalah pelukis, tampak dari kanvas-kanvas rusak diluaran rumahnya dan lukisan-lukisan didinding dalam rumahnya
Ia begitu hangat terdengar dari suaranya
Setelah membasuh luka, aku duduk disamping perapian rumahnya
Ia juga ikut duduk bersama dengan ku
Bercerita tentang asa dan mimpi
Diambilnya sebuah buku dan pena baru
Dilembar pertama, ia menulis namanya
Lalu, ia meminta aku menulis namaku
Ku tanya, "Wahai tuan, apalah aku ini bukan bidadari. Tak elok rasanya menggores tinta disini"
Tatapan yang tulus dengan suara yang halus,
"Wahai puan, aku tahu engkau sudah berkali-kali mengecap kecewa. Biarlah aku ini menghapus pedih atas segala luka si Peri, Tatiana"
"Beri aku izin melukis kisah bersamamu hingga akhir hayatku."
"Kasih, atas nama rasa mau kah aku dan kamu menjadi kita? Membuat indah semesta yang dulu penuh duka menjadi suka?"
Aku memikirkan bagaimana kalau aku terjebak lagi dijagad raya yang pekat
Aku memikirkan bagaimana kalau aku kembali tersesat dimalam yang kelam
Aku memikirkan bagaimana kalau aku kemudian mati ditusuk waktu oleh segala kondisi
"Jangan khawatir, aku juga sudah pernah salah memilih jalan, sudah pernah mengecap pahit yang menjanjikan"
"Kasihku, aku dan kamu sudah merasakan kekejaman waktu yang fana. Mereka menempa kita untuk benar-benar menjadi manusia, menuntun aku dan kamu menjadi kita"
"Baiklah tuan, aku tidak akan menjanjikan kefanaan. Akan ku buktikan atas nama semesta yang bersinggungan dengan masa depan, untuk menetap, untuk pulang"
Aku menulis namaku di lembar itu
Sambil menitikkan air mata, hawa perapian menghangatkan aku yang semula selalu mesra dengan dingin
Meskipun bahtera mampu melewati samudera, ia akan hancur diterjang badai kemunafikan
Meskipun istana menyimpan banyak harta, ia akan runtuh dihancurkan keserakahan
Nyatanya rumah dibelantara adalah tempat ternyaman dan teraman dari ancaman manapun
Rumah adalah tempat yang selalu menantikan Tuan dan Puan untuk diberi beri hangat.
Jikalau bahtera harus dirawat oleh banyak kelasi dan rusak harus diperbaiki
Jikalau istana harus selalu dihiasi agar tetap bergengsi, raja yang mati harus diganti dan bangunan runtuh harus dibangun kembali
Rumah hanya cukup dirawat pemiliknya dengan nurani yang manusiawi.
Â
Titik Nol Equator, 25 Juni
CAD
Â
Â
Â
Â