Mohon tunggu...
Tatiana Dayana
Tatiana Dayana Mohon Tunggu... Buruh - Makhluk Neverland

Aku bukan penikmat rindu, kopi, senja. Aku penikmat Kamu

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Fase Ironi (Sajak Rumah)

24 Juni 2019   00:45 Diperbarui: 16 Januari 2022   21:07 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah diberi permata saat berlayar bersama nahkoda

Setelah diberi tahta dan bermahkota saat bersama raja

Aku dipecundangi semesta

Keluarga dan sanak saudara berpesta dan tertawa

Nanar mata mereka menelanjangi aku yang penuh luka

Aku dihina dan diludahi 

Tidak ada tempat yang dapat ku singgahi

Tersesat di hutan belantara

Berkawan dengan deru angin

Karibku adalah hawa dingin

Aku di dekap dengan mesra hingga menggigil

Hutan ini, jalan setapaknya dipenuhi belukar

Duri-duri menjadi akrab dengan telapak kakiku

Darah yang mengucur hingga mengering

Tidak ada satu pun ku temui pertolongan

Berteriak aduh saja aku disambut tawa binatang melata

Apalagi membuat gaduh memporak-poranda belantara, bisa-bisa aku diterkam singa atau kawanan serigala

Astaga, aku lupa bahwa waktu ini fana

Amarah dan benci ternyata sia-sia

Merebahkan diri dan tidur di bawah pohon ara

Makan dan minum air telaga setelah berkelahi dengan para kera

Rasanya sudah biasa aku mengembara

Samudera, Istana, dan hutan belantara

Ku pandangi langit malam yang indah malam itu

Di langit utara Rasi auriga, pengendara kereta kuda

Sinar Arcturus dan Vega mengalahkan Capella

Dalam hening, aku hanya kambing betina yang terlalu pecundang menghadapi singa apalagi serigala

Meratapi bintang gemintang membuat aku rindu untuk pulang

Tetapi, kemana aku harus pulang?

Hingga lupa aku terpejam dan hening gelap melelapkan mata

Pagi nya, kicauan burung dan tetes embun membangunkan aku

Bergegas menelusuri jalan lagi

Tampak pagi yang cerah

Matahari yang tidak tahu malu mulai meninggi

Ku lihat ada sebuah jalan yang rapi dan sepi

Ku telusuri jalan itu hingga senja datang kembali

Panjang sekali jalan ini

Banyak bunga melati, aromanya menemani aku menikmati sunyi

Dahaga ku bergejolak, tapi tidak mungkin aku memetik putik cantik melati

Di penghujung jalan, ku temui ada sebuah rumah kecil dengan lampu yang terang

Ku ketuk pintunya dan menyapa tuannya

Ia mempersilakan masuk dan menawarkan secangkir teh hangat

Ia adalah pelukis, tampak dari kanvas-kanvas rusak diluaran rumahnya dan lukisan-lukisan didinding dalam rumahnya

Ia begitu hangat terdengar dari suaranya

Setelah membasuh luka, aku duduk disamping perapian rumahnya

Ia juga ikut duduk bersama dengan ku

Bercerita tentang asa dan mimpi

Diambilnya sebuah buku dan pena baru

Dilembar pertama, ia menulis namanya

Lalu, ia meminta aku menulis namaku

Ku tanya, "Wahai tuan, apalah aku ini bukan bidadari. Tak elok rasanya menggores tinta disini"

Tatapan yang tulus dengan suara yang halus,

"Wahai puan, aku tahu engkau sudah berkali-kali mengecap kecewa. Biarlah aku ini menghapus pedih atas segala luka si Peri, Tatiana"

"Beri aku izin melukis kisah bersamamu hingga akhir hayatku."

"Kasih, atas nama rasa mau kah aku dan kamu menjadi kita? Membuat indah semesta yang dulu penuh duka menjadi suka?"

Aku memikirkan bagaimana kalau aku terjebak lagi dijagad raya yang pekat

Aku memikirkan bagaimana kalau aku kembali tersesat dimalam yang kelam

Aku memikirkan bagaimana kalau aku kemudian mati ditusuk waktu oleh segala kondisi

"Jangan khawatir, aku juga sudah pernah salah memilih jalan, sudah pernah mengecap pahit yang menjanjikan"

"Kasihku, aku dan kamu sudah merasakan kekejaman waktu yang fana. Mereka menempa kita untuk benar-benar menjadi manusia, menuntun aku dan kamu menjadi kita"

"Baiklah tuan, aku tidak akan menjanjikan kefanaan. Akan ku buktikan atas nama semesta yang bersinggungan dengan masa depan, untuk menetap, untuk pulang"

Aku menulis namaku di lembar itu

Sambil menitikkan air mata, hawa perapian menghangatkan aku yang semula selalu mesra dengan dingin

Meskipun bahtera mampu melewati samudera, ia akan hancur diterjang badai kemunafikan

Meskipun istana menyimpan banyak harta, ia akan runtuh dihancurkan keserakahan

Nyatanya rumah dibelantara adalah tempat ternyaman dan teraman dari ancaman manapun

Rumah adalah tempat yang selalu menantikan Tuan dan Puan untuk diberi beri hangat.

Jikalau bahtera harus dirawat oleh banyak kelasi dan rusak harus diperbaiki

Jikalau istana harus selalu dihiasi agar tetap bergengsi, raja yang mati harus diganti dan bangunan runtuh harus dibangun kembali

Rumah hanya cukup dirawat pemiliknya dengan nurani yang manusiawi.

 

Titik Nol Equator, 25 Juni

CAD

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun